Primbon. Dengan penuh khidmat, keluarga calon pengantin menghitung neptu hari lahir dan pasaran untuk menentukan kecocokan pasangan. Jika hasil perhitungan menunjukkan angka seperti selikur (21), rolikur (22), atau telulikur (23), keluarga biasanya langsung menyetujui pernikahan.
Dulu, ketika seseorang ingin menikah, langkah pertama adalah mendatangi ahli pitung jaya sambil membawa referensi bukuNamun, jika hasilnya menunjukkan angka selawe (25), suasana mendadak berubah menjadi tegang. Angka ini dianggap membawa sial, sehingga keluarga harus memilih antara membatalkan rencana pernikahan atau melakukan ritual tertentu untuk menetralisir nasib buruk.
Namun, itu cerita masa lalu. Generasi sekarang, atau generasi now, hidup di era yang berbeda. Mereka tidak lagi menggantungkan keputusan hidup mereka pada hitungan angka dalam primbon. Sebaliknya, mereka memandang pernikahan melalui lensa rasionalitas, di mana stabilitas finansial, kompatibilitas emosional, dan visi masa depan menjadi pertimbangan utama.
Meski begitu, kehidupan modern membawa tantangan baru. Salah satunya adalah fenomena choice paralysis, yaitu kesulitan membuat keputusan karena terlalu banyak pilihan. Berkat teknologi dan media sosial, generasi now memiliki akses ke berbagai pilihan pasangan yang tidak terbatas pada lingkungan sekitar mereka. Melalui aplikasi kencan, media sosial, atau komunitas online, mereka dapat bertemu dengan orang-orang dari berbagai latar belakang dan budaya.
Namun, banyaknya pilihan ini justru bisa menjadi pedang bermata dua. Di satu sisi, generasi sekarang dapat lebih selektif dalam memilih pasangan yang benar-benar sesuai dengan keinginan mereka.
Di sisi lain, terlalu banyak pilihan bisa membuat mereka merasa ragu dan terus menunda keputusan untuk menikah. Mereka mungkin membandingkan pasangan potensial satu sama lain, mempertimbangkan pendapat teman-teman, atau bahkan merasa takut membuat pilihan yang salah.
Tekanan dari dunia maya juga memengaruhi cara generasi now melihat pernikahan. Media sosial menciptakan standar tinggi tentang hubungan dan kehidupan pernikahan yang "ideal." Banyak yang merasa harus mencapai level tertentu dalam karier, keuangan, atau penampilan sebelum merasa siap untuk menikah.
Bahkan, ada yang menunda pernikahan karena ingin menampilkan momen yang sempurna di dunia maya, dari lamaran romantis hingga bulan madu mewah.
Hubungan jarak jauh atau long-distance relationship (LDR) juga menjadi fenomena umum di era digital. Teknologi memungkinkan pasangan tetap terhubung meski berjauhan, tetapi tantangan emosional dan logistik dalam LDR sering kali membuat proses menuju pernikahan lebih lambat. Jika generasi sebelumnya hanya perlu memastikan hitungan neptu cocok, generasi now harus memastikan bahwa pasangan LDR mereka adalah orang yang benar-benar bisa diajak menjalani hidup bersama, meski jarang bertemu secara fisik.
Di sisi lain, generasi sekarang masih harus menghadapi tekanan sosial yang tidak jauh berbeda dengan generasi sebelumnya. Pertanyaan "Kapan kawin?" masih sering dilontarkan oleh keluarga besar di acara-acara kumpul keluarga.
Namun, generasi now lebih santai dalam menjawabnya, sering kali dengan humor atau alasan logis. "Tunggu, Bu, rekening saya masih butuh waktu untuk naik level," atau "Lagi cari promo honeymoon dulu, Pak."