Mohon tunggu...
Abdul Wahid Azar
Abdul Wahid Azar Mohon Tunggu... Wiraswasta - Praktisi Bisnis

Menulis subtansi kehidupan, Jujur pada realitas

Selanjutnya

Tutup

Lyfe

Pernikahan Generasi Now, Antara Primbon Vs Rasionalitas dan Choice Paralysis

19 Desember 2024   04:57 Diperbarui: 19 Desember 2024   05:18 20
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Mempelai (pexel.com)

Dulu, ketika seseorang ingin menikah, langkah pertama adalah mendatangi ahli pitung jaya sambil membawa referensi buku Primbon. Dengan penuh khidmat, keluarga calon pengantin menghitung neptu hari lahir dan pasaran untuk menentukan kecocokan pasangan. Jika hasil perhitungan menunjukkan angka seperti selikur (21), rolikur (22), atau telulikur (23), keluarga biasanya langsung menyetujui pernikahan.

Namun, jika hasilnya menunjukkan angka selawe (25), suasana mendadak berubah menjadi tegang. Angka ini dianggap membawa sial, sehingga keluarga harus memilih antara membatalkan rencana pernikahan atau melakukan ritual tertentu untuk menetralisir nasib buruk.

Namun, itu cerita masa lalu. Generasi sekarang, atau generasi now, hidup di era yang berbeda. Mereka tidak lagi menggantungkan keputusan hidup mereka pada hitungan angka dalam primbon. Sebaliknya, mereka memandang pernikahan melalui lensa rasionalitas, di mana stabilitas finansial, kompatibilitas emosional, dan visi masa depan menjadi pertimbangan utama.

Meski begitu, kehidupan modern membawa tantangan baru. Salah satunya adalah fenomena choice paralysis, yaitu kesulitan membuat keputusan karena terlalu banyak pilihan. Berkat teknologi dan media sosial, generasi now memiliki akses ke berbagai pilihan pasangan yang tidak terbatas pada lingkungan sekitar mereka. Melalui aplikasi kencan, media sosial, atau komunitas online, mereka dapat bertemu dengan orang-orang dari berbagai latar belakang dan budaya.

Namun, banyaknya pilihan ini justru bisa menjadi pedang bermata dua. Di satu sisi, generasi sekarang dapat lebih selektif dalam memilih pasangan yang benar-benar sesuai dengan keinginan mereka.

Di sisi lain, terlalu banyak pilihan bisa membuat mereka merasa ragu dan terus menunda keputusan untuk menikah. Mereka mungkin membandingkan pasangan potensial satu sama lain, mempertimbangkan pendapat teman-teman, atau bahkan merasa takut membuat pilihan yang salah.

Tekanan dari dunia maya juga memengaruhi cara generasi now melihat pernikahan. Media sosial menciptakan standar tinggi tentang hubungan dan kehidupan pernikahan yang "ideal." Banyak yang merasa harus mencapai level tertentu dalam karier, keuangan, atau penampilan sebelum merasa siap untuk menikah.

Bahkan, ada yang menunda pernikahan karena ingin menampilkan momen yang sempurna di dunia maya, dari lamaran romantis hingga bulan madu mewah.

Hubungan jarak jauh atau long-distance relationship (LDR) juga menjadi fenomena umum di era digital. Teknologi memungkinkan pasangan tetap terhubung meski berjauhan, tetapi tantangan emosional dan logistik dalam LDR sering kali membuat proses menuju pernikahan lebih lambat. Jika generasi sebelumnya hanya perlu memastikan hitungan neptu cocok, generasi now harus memastikan bahwa pasangan LDR mereka adalah orang yang benar-benar bisa diajak menjalani hidup bersama, meski jarang bertemu secara fisik.

Di sisi lain, generasi sekarang masih harus menghadapi tekanan sosial yang tidak jauh berbeda dengan generasi sebelumnya. Pertanyaan "Kapan kawin?" masih sering dilontarkan oleh keluarga besar di acara-acara kumpul keluarga.

Namun, generasi now lebih santai dalam menjawabnya, sering kali dengan humor atau alasan logis. "Tunggu, Bu, rekening saya masih butuh waktu untuk naik level," atau "Lagi cari promo honeymoon dulu, Pak."

Namun, humor ini tidak menghilangkan fakta bahwa generasi ini sangat berhati-hati dalam mengambil keputusan besar seperti pernikahan. Mereka lebih memilih menunda daripada mengambil risiko yang bisa merugikan mereka di masa depan.

Stabilitas finansial menjadi salah satu alasan utama mengapa pernikahan ditunda. Mereka tidak ingin memasuki pernikahan tanpa jaminan keuangan yang cukup, terutama mengingat biaya pernikahan yang semakin mahal.

Selain itu, generasi now memiliki pemahaman yang lebih baik tentang pentingnya kesiapan emosional. Mereka sadar bahwa pernikahan bukan hanya tentang cinta, tetapi juga tentang kerja sama, komunikasi, dan kemampuan untuk menghadapi tantangan bersama. Daripada menikah hanya karena tekanan sosial atau mitos seperti primbon, mereka memilih untuk menunggu hingga benar-benar siap dalam segala aspek.

Fenomena ini menunjukkan bahwa generasi now memiliki pendekatan yang berbeda terhadap pernikahan. Mereka tidak menolak tradisi, tetapi mereka juga tidak membiarkan tradisi mendikte hidup mereka. Mereka mencari keseimbangan antara mempertahankan nilai-nilai lama dan beradaptasi dengan realitas modern.

Jadi, jika angka pernikahan di generasi sekarang tampak menurun, itu bukan karena mereka tidak menghargai institusi pernikahan. Sebaliknya, mereka ingin memastikan bahwa keputusan untuk menikah adalah keputusan yang matang, berdasarkan rasionalitas dan kesiapan, bukan tekanan atau mitos.

Dan ketika ditanya lagi, "Kapan kawin?", mereka mungkin hanya akan tersenyum dan menjawab, "Nanti, kalau sudah yakin dengan semuanya. Karena menikah itu bukan soal cepat, tapi soal benar-benar siap."

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun