Ketika berbicara soal pariwisata, Indonesia dan Malaysia sering dibandingkan seperti dua saudara sekampung yang tinggal di kawasan Asia Tenggara. Keduanya punya banyak cerita, budaya, dan keindahan alam untuk dibanggakan.
Namun, dalam hal menarik perhatian wisatawan internasional, rasanya Malaysia punya cara yang lebih cerdik. Mereka dengan percaya diri melabeli diri sebagai "Malaysia, Truly Asia", slogan yang sederhana tapi melekat di ingatan. Sementara itu, Indonesia dengan "Wonderful Indonesia" terdengar seperti undangan pesta yang megah, tetapi brosur acaranya hanya memperlihatkan satu ruangan: Bali.
Kenapa Malaysia bisa begitu percaya diri memproklamirkan dirinya sebagai representasi Asia? Bukankah Indonesia memiliki keberagaman budaya yang jauh lebih kaya? Jawabannya sederhana: branding mereka lebih tajam, fokus, dan konsisten. Malaysia berhasil meyakinkan dunia bahwa mereka adalah miniatur Asia dalam satu negara---sebuah pengalaman multikultural tanpa harus repot-repot menjelajahi seluruh benua.
Lihatlah bagaimana Malaysia dengan cerdik menampilkan semua yang Asia miliki. Ada budaya Melayu, India, dan Cina yang hidup berdampingan secara harmonis. Wisatawan bisa menikmati nasi lemak untuk sarapan, kari India untuk makan siang, dan dim sum untuk makan malam---semua tanpa meninggalkan Kuala Lumpur.
Jika bosan di kota, ada Langkawi dengan pantai tropis yang indah, atau Cameron Highlands untuk menikmati sejuknya perkebunan teh. Semua ini dibungkus rapi dengan akses transportasi yang mudah dan fasilitas yang ramah wisatawan.
Bandingkan dengan Indonesia. Kita punya Bali, Raja Ampat, Lombok, hingga Yogyakarta dengan Candi Borobudur dan Prambanan. Keindahan alam kita tak tertandingi, dari pegunungan hingga dunia bawah laut. Tapi apa yang terjadi?
Wisatawan sering hanya mengenal Bali, seakan-akan Indonesia adalah Bali, dan Bali adalah Indonesia. Padahal, ada 17.000 pulau lainnya yang menunggu untuk dijelajahi. Sayangnya, banyak dari destinasi ini terjebak dalam bayang-bayang Bali karena kurangnya promosi yang terintegrasi.
Malaysia tahu cara menjual diri. Mereka seperti tetangga yang selalu punya iklan besar di pinggir jalan: "Ayo ke Malaysia, di sini ada semuanya!" Iklannya sederhana, visualnya menarik, dan pesannya jelas. Sementara itu, Indonesia seperti tetangga yang punya pameran seni abstrak.
Brosurnya penuh gambar indah, tapi wisatawan bingung harus memulai dari mana. Apakah mereka ke Raja Ampat? Labuan Bajo? Atau ke Gunung Bromo? Semua terlihat memukau, tapi jaraknya jauh, transportasinya mahal, dan fasilitasnya sering tidak memadai.
Infrastruktur adalah salah satu kunci keberhasilan Malaysia. Mereka memastikan bahwa setiap destinasi utama mudah diakses. Bandara KLIA menjadi hub internasional yang mempermudah wisatawan masuk. Dari sana, ada jalan tol, kereta cepat, hingga feri yang nyaman. Anda ingin ke Langkawi? Tidak perlu stres, semuanya sudah terjadwal rapi.
Sebaliknya, Indonesia masih menawarkan "petualangan". Pergi ke Raja Ampat, misalnya, adalah pengalaman yang indah, tetapi Anda harus siap melewati perjalanan panjang dengan pesawat, kapal, hingga perahu kecil. Ini mungkin menyenangkan bagi mereka yang mencari pengalaman eksotis, tetapi bagaimana dengan wisatawan yang hanya ingin liburan santai? Seringkali, mereka menyerah bahkan sebelum perjalanan dimulai.
Keamanan dan kenyamanan juga menjadi faktor penting. Malaysia tahu bahwa wisatawan tidak suka diganggu. Tidak ada pungutan liar, preman, atau parkir mahal yang tiba-tiba muncul di tengah perjalanan. Semua destinasi dijaga dengan baik, dari kebersihan hingga keamanannya.
Di sisi lain, beberapa destinasi wisata di Indonesia masih menghadapi masalah premanisme. Wisatawan yang ingin menikmati pantai atau gunung sering terganggu oleh pungutan liar atau pedagang asongan yang terlalu agresif. Hal ini tidak hanya merusak pengalaman wisata, tetapi juga mencoreng citra pariwisata Indonesia di mata dunia.
Namun, yang paling mencolok adalah perbedaan dalam branding. "Malaysia, Truly Asia" adalah slogan yang cerdas. Dengan tiga kata, mereka berhasil menggambarkan seluruh pengalaman yang bisa didapatkan wisatawan, Asia yang autentik, beragam, dan nyaman.
Sementara itu, "Wonderful Indonesia" terdengar indah, tetapi kurang spesifik. Apa yang membuat Indonesia "wonderful"? Apakah Bali? Atau Raja Ampat? Pesannya terlalu luas dan akhirnya tidak meninggalkan kesan mendalam.
Malaysia juga konsisten dengan pesan mereka. Mereka telah menggunakan "Truly Asia" sejak 1999, membangun asosiasi kuat di benak wisatawan. Indonesia, di sisi lain, sering mengganti slogan. Dari "Visit Indonesia Year" hingga "Wonderful Indonesia", branding kita terasa kurang kohesif dan kehilangan momentum.
Mungkin inilah yang membuat wisatawan lebih memilih Malaysia. Mereka tahu apa yang akan mereka dapatkan: pengalaman Asia yang lengkap dalam satu tempat. Mereka tidak perlu repot-repot menjelajah ke banyak negara atau destinasi untuk merasakan budaya Asia yang beragam.
Bukan berarti Indonesia tidak punya peluang. Keindahan alam dan budaya kita adalah aset yang tak tertandingi. Tapi keindahan saja tidak cukup. Kita perlu belajar dari Malaysia tentang bagaimana menjual potensi tersebut dengan cara yang lebih efektif. Infrastruktur harus ditingkatkan, destinasi selain Bali harus dipromosikan secara besar-besaran, dan yang terpenting, gangguan seperti premanisme harus dihilangkan.
Indonesia adalah butik premium pariwisata dunia---penuh kejutan dan keindahan eksklusif. Tapi butik ini hanya bisa diakses oleh mereka yang siap menghadapi waktu, biaya, dan energi ekstra. Sementara itu, Malaysia adalah supermarket Asia: praktis, lengkap, dan nyaman.
Jika Indonesia ingin bersaing, kita harus mengemas keindahan kita dengan cara yang lebih ramah wisatawan. Dengan begitu, wisatawan akan tahu bahwa Indonesia tidak hanya "wonderful", tetapi juga nyaman dan mudah dijangkau. Dan siapa tahu, mungkin suatu hari kita bisa mengalahkan "Truly Asia" dengan "Truly the Best".
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H