Flexing di media sosial merajalela, dan kalau Anda masih setia dengan gaya hidup sederhana, Anda mungkin terlihat seperti artefak dari masa lalu.
Hidup sederhana adalah seni yang nyaris punah, terutama di zaman serba digital ini. Dulu, orang bisa menikmati hidup dengan tenang. Punya rumah kecil, makan nasi uduk di warung pinggir jalan, dan naik motor Supra X itu sudah cukup. Tapi sekarang? Dunia seakan berubah menjadi panggung pertunjukan, di mana setiap orang berlomba-lomba menjadi bintang.Pernahkah Anda merasa seperti ini? Anda duduk santai di rumah, menikmati teh hangat dengan kerupuk bawang, lalu iseng membuka Instagram. Tiba-tiba, timeline Anda dipenuhi dengan orang-orang yang memamerkan liburan ke Maldives, makan steak wagyu di restoran bintang lima, atau berpose dengan mobil baru. Anda, yang tadinya bahagia dengan teh dan kerupuk bawang, mendadak merasa hidup Anda kurang bergengsi. "Apa salahku? Kenapa hidupku tidak semewah ini?" pikir Anda, sambil mengunyah kerupuk yang terasa semakin hambar.
Flexing dan Seni Membuat Orang Minder
Flexing adalah fenomena di mana orang memamerkan keberhasilan atau kemewahan mereka dengan cara yang membuat orang lain merasa tertinggal. Misalnya, teman Anda yang baru saja membeli iPhone terbaru, lalu mengunggah foto dengan caption, "Finally, upgrade setelah sekian lama bertahan dengan iPhone 13." Anda yang masih pakai ponsel dengan layar retak mungkin langsung merasa seperti manusia purba.
Atau ada juga jenis flexing yang lebih halus. Contohnya, seorang kenalan yang memotret makan malam di restoran mahal, lengkap dengan caption bijak seperti, "Rasa syukur membawa rezeki." Padahal, dalam hati kecil Anda tahu, kartu kreditnya pasti menangis saat tagihan datang. Tetapi tetap saja, unggahan itu membuat Anda bertanya-tanya, "Kok saya belum pernah makan steak seharga gaji seminggu?"
Hidup Sederhana Melawan Arus dengan Santai
Di tengah badai flexing, hidup sederhana adalah pilihan yang berani. Hidup sederhana adalah tentang menikmati apa yang kita punya tanpa harus merasa minder karena apa yang tidak kita punya. Teman saya, Pak Doni, adalah contoh nyata bagaimana seseorang bisa tetap hidup sederhana di tengah budaya flexing.
Ketika semua orang di lingkungannya mengganti motor mereka dengan mobil SUV yang besar, Pak Doni tetap setia dengan motor Supra X-nya. "Ngapain beli mobil kalau cuma mau ke warung beli tempe?" katanya dengan santai. Dan benar saja, ketika musim hujan tiba, tetangga-tetangganya yang flexing dengan mobil baru justru stres karena cicilan yang terus berjalan meskipun jalanan banjir. Pak Doni? Dia santai saja, Supra X-nya tetap setia mengarungi genangan air.
Suatu hari, saya bertanya pada Pak Doni, "Pak, nggak kepikiran beli mobil kayak yang lain?" Dia hanya tersenyum dan menjawab, "Mobil bikin orang terkesan. Tapi Supra X bikin hidup lebih ringan. Pilih mana?"
Flexing di Media Sosial vs Realitas
Hal yang perlu kita ingat adalah, tidak semua yang terlihat di media sosial itu nyata. Ada orang yang rela berhutang hanya untuk flexing. Ada yang meminjam properti teman atau bahkan menyewa barang mewah hanya untuk konten. Di balik senyum bahagia dalam foto-foto itu, mungkin ada rasa cemas karena cicilan yang menumpuk. Tapi media sosial tidak peduli dengan kenyataan. Yang penting, foto Anda terlihat sempurna.