Mohon tunggu...
Abdul Wahid Azar
Abdul Wahid Azar Mohon Tunggu... Wiraswasta - Praktisi Bisnis

Menulis subtansi kehidupan, Jujur pada realitas

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Pilihan

Menikmati Teh, Rasa Rindu dan Benci, Derita menjadi Bahagia

6 Desember 2024   07:13 Diperbarui: 6 Desember 2024   07:17 121
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Minum teh (foto : kompas)

Teh, minuman sederhana yang tak lekang oleh waktu, selalu memiliki tempat di hati masyarakat. Entah di saat pagi yang sunyi, sore yang damai, atau malam yang penuh renungan, teh adalah teman yang tak pernah meninggalkan kita sendirian. Di tengah hiruk-pikuk filosofis kopi yang sering kali mendominasi percakapan---dengan segala kisah cinta, galau, politik, hingga pengkhianatan yang diramunya---teh tetap berdiri teguh, menawarkan kehangatan dan ketenangan. Dan meskipun filosofi teh mungkin tidak seberisik kopi, ia memiliki daya tariknya sendiri, terutama dalam mengubah derita menjadi bahagia dengan ilmu sederhana " othak-athik gathuk".

Teh mengajarkan kita untuk menerima kehidupan apa adanya, termasuk rasa rindu yang melambatkan langkah dan rasa benci yang terkadang membakar hati. Dalam setiap cangkir teh, ada pelajaran tentang bagaimana hidup adalah perpaduan rasa pahit, manis, dan sejuk yang melebur menjadi satu harmoni. Ketika kita menyeruput teh, terutama dalam momen penuh kenangan, teh menjadi lebih dari sekadar minuman. Ia adalah jendela menuju emosi terdalam kita, tempat rindu dan benci berdialog dengan damai.

 Derita yang Menyembuhkan

Teh adalah simbol perjalanan hidup yang penuh perjuangan. Untuk menghasilkan daun teh terbaik, ia harus melewati proses yang panjang: dipetik dengan hati-hati, dijemur hingga layu, digulung hingga aromanya keluar, dan akhirnya difermentasi untuk menghasilkan rasa yang khas. Semua proses itu, meski tampak melelahkan, adalah bagian dari apa yang membuat teh menjadi luar biasa.

Ketika teh bertemu air panas, ia tidak melawan. Justru dalam suhu tinggi itu, teh melepaskan rasa dan aromanya, memberikan kehangatan dan kenyamanan kepada siapa pun yang menikmatinya. Filosofi ini mengajarkan bahwa derita bukanlah akhir dari segalanya. Sebaliknya, derita adalah proses menuju kebahagiaan.

Momen-momen seperti ini sering kali membawa kita ke kenangan-kenangan masa lalu. Mengingat mantan yang pernah menyakiti, misalnya. Dengan teh di tangan, luka itu terasa tidak lagi pedih, melainkan menjadi cerita yang bisa ditertawakan. "Dulu, aku sampai nangis semalaman hanya karena dia lupa ulang tahunku," gumammu sambil menyeruput teh manis.

Bahkan rindu yang tak terjawab---pada kekasih yang tak kunjung melamar, sementara usia terus berjalan---menemukan tempatnya dalam secangkir teh. Teh mengajarkan kita untuk tidak memaksa waktu. Ia memberi ruang untuk merenung, menerima, dan berharap tanpa tekanan. Dalam hangatnya teh, kamu menyadari bahwa hidup tidak perlu sempurna hari ini, karena kebahagiaan sejati selalu butuh waktu untuk matang.

Mengubah Luka Menjadi Pelajaran

 

Teh juga memiliki keajaiban dalam menyembuhkan luka batin. Dalam setiap tegukan, ia menawarkan pesan bahwa rasa pahit dan manis adalah bagian dari kehidupan. Sama seperti proses pembuatan teh, luka yang pernah kamu alami adalah bagian dari perjalanan menuju kebahagiaan.

Mengapa teh bisa membuat kita merasa seperti itu? Mungkin karena teh, dengan kesederhanaannya, mengajarkan kita untuk melambat. Dalam proses menyeduh teh, tidak ada tempat untuk tergesa-gesa. Kamu harus menunggu daun teh mengeluarkan warna dan rasa, menyesap perlahan untuk menikmati setiap detailnya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun