Di tengah semua ini, ada satu elemen yang seharusnya menjadi penjaga demokrasi, tetapi sering kali terlupakan: Bawaslu.Â
Sebagai lembaga pengawas Pemilu, peran Bawaslu seharusnya seperti VAR (Video Assistant Referee) dalam sepak bola---teknologi canggih yang memastikan setiap pelanggaran terlihat dan setiap keputusan adil. Tapi kenyataannya, Bawaslu masih seperti penonton di tribun, hanya menonton tanpa benar-benar terlibat.
Bayangkan jika Bawaslu benar-benar menggunakan teknologi seperti VAR. Kita mungkin akan melihat adegan epik amplop serangan fajar tertangkap kamera CCTV, wajah pelaku diperbesar hingga terlihat jelas, dan bukti digital dikirim langsung ke pusat. Tapi, kenyataannya, inovasi Bawaslu masih jauh dari harapan. Mereka masih mengandalkan laporan manual, saksi mata, dan mungkin sedikit keberuntungan agar pelanggaran terlihat.
Aplikasi pelaporan mereka pun sering kali terasa seperti peninggalan era awal digitalisasi, lambat dan tidak intuitif.
Padahal, jika dibandingkan dengan sepak bola, VAR telah berhasil membawa keadilan dalam permainan. Setiap gol, penalti, atau pelanggaran offside bisa diperiksa ulang dalam hitungan detik.Â
Sementara itu, di arena Pilkada, pelanggaran seperti money politics atau intimidasi pemilih sering kali lolos begitu saja, hanya karena kurangnya bukti atau proses verifikasi yang lamban. Jika sepak bola bisa memastikan fair play dengan teknologi, kenapa demokrasi kita tidak bisa?
Kembali ke pertarungan hari ini, Pilkada adalah tentang lebih dari sekadar angka di TPS. Ini adalah pembuktian bagi KIM Plus bahwa mereka tidak hanya kuat di pusat tetapi juga di tingkat lokal. Setiap kemenangan di daerah strategis adalah simbol dominasi mereka di panggung politik nasional.
Di sisi lain, bagi PDIP, Pilkada adalah medan untuk membuktikan bahwa mereka masih relevan sebagai kekuatan oposisi. Setiap kursi yang berhasil mereka rebut adalah pesan bahwa oposisi masih punya taring.
Namun, di balik semua drama politik ini, pertanyaan besar tetap ada, Â apakah Pilkada benar-benar untuk rakyat, atau hanya panggung gengsi para elite? Amplop serangan fajar mungkin bisa memenangkan suara, tetapi apakah itu benar-benar membawa perubahan nyata? Dan bagaimana dengan Bawaslu? Apakah mereka akan terus menjadi penonton, atau akhirnya bangun dan menghadirkan inovasi nyata untuk menjaga demokrasi?
Pada akhirnya, Pilkada hari ini adalah tentang pembuktian kekuatan, adu gengsi, dan---sayangnya---kekurangan sistem pengawasan. Semoga hasilnya tidak hanya tentang siapa yang menang, tetapi juga tentang bagaimana kita membangun demokrasi yang lebih baik. Karena di balik semua janji dan slogan, yang paling kita butuhkan adalah pemimpin yang tahu cara memperbaiki jalan rusak tanpa harus menunggu musim kampanye.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H