Mohon tunggu...
Abdul Wahid Azar
Abdul Wahid Azar Mohon Tunggu... Wiraswasta - Praktisi Bisnis

Menulis subtansi kehidupan, Jujur pada realitas

Selanjutnya

Tutup

Analisis Artikel Utama

Pilkada Serentak, Pilih Koalisi atau Kompetensi?

20 November 2024   11:16 Diperbarui: 20 November 2024   13:11 73
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pilkada serentak sudah di depan mata. Wajah-wajah calon kepala daerah mulai menghiasi baliho di setiap sudut jalan, lengkap dengan senyum lebar dan slogan bombastis.

Tapi di balik itu, pertarungan sebenarnya bukan cuma soal program kerja, melainkan soal "koalisi." Ada yang datang dengan koalisi gemuk, ibarat rombongan kereta barang yang penuh muatan.

Ada juga yang maju dengan koalisi tipis, mirip ojek daring yang cuma bawa satu penumpang. Pilihan koalisi ini, percaya atau tidak, jauh lebih menarik daripada program kerja itu sendiri.

Koalisi Gemuk, Semua Masuk, Semua Tagih Janji

Koalisi gemuk itu menarik. Dengan dukungan banyak partai, calon kepala daerah punya segalanya: jaringan besar, logistik melimpah, dan, tentu saja, akses mudah ke kantong donatur. Tapi jangan salah, koalisi gemuk itu bukan tanpa harga.

Kalau menang, kepala daerah harus siap jadi "bendahara bersama." Semua partai pendukung, dari yang besar sampai yang cuma sekadar numpang nama, pasti punya tagihan yang harus dibayar.

Kepala daerah yang didukung koalisi gemuk itu seperti masuk ke restoran all-you-can-eat, tapi lupa kalau setiap piring punya harga. Setelah menang, "pelayan" partai-partai ini akan datang satu per satu, minta jatah proyek, jabatan, atau kebijakan yang menguntungkan mereka.

Kalau kepala daerahnya nggak punya nyali untuk menolak, rakyatlah yang akhirnya bayar tagihan itu lewat anggaran pembangunan yang entah ke mana perginya.

Oh, jangan lupa, koalisi besar biasanya juga berarti program kerja yang lebih banyak komprominya.

Misalnya, calon ingin fokus pada pendidikan, tapi partai pendukung minta "fokuskan dulu pada proyek infrastruktur." Ujung-ujungnya? Program kerja berubah jadi proyek bagi-bagi untung.

Koalisi Tipis: Modal Nekat, Tapi Jujur?

Di sisi lain, ada juga calon yang maju dengan koalisi tipis, hanya didukung satu atau dua partai. Kalau yang tadi seperti kereta barang, ini lebih mirip becak motor---cepat, tapi nggak bisa bawa terlalu banyak beban.

Koalisi tipis ini sering kali terpaksa ngirit. Baliho seadanya, kampanye nggak banyak embel-embel, bahkan spanduk pun kadang masih pakai cat tangan.

Tapi jangan salah, di balik kesederhanaannya, ada sesuatu yang menarik: calon seperti ini biasanya lebih "bebas." Kenapa?

Karena mereka nggak punya banyak utang politik. Nggak ada partai pendukung yang sibuk menagih jabatan atau proyek. Jadi, kepala daerah dengan koalisi tipis ini biasanya lebih fokus kerja.

Masalahnya, apa mereka cukup kuat melawan ombak besar dari koalisi gemuk di dewan? Kalau dewan didominasi partai lain, kepala daerah seperti ini bisa jadi sekadar simbol tanpa banyak ruang gerak.

Dan mari kita jujur, koalisi tipis juga sering dianggap "calon pelengkap." Banyak yang bertaruh mereka cuma ikut meramaikan Pilkada, bukan untuk menang. Kalau pun menang, ya, itu ibarat menang lotre---murni keajaiban.

Rakyat, Penonton di Sisi Ring

Lalu, apa kabar rakyat? Ah, seperti biasa, rakyat adalah penonton setia. Kita menyaksikan pertunjukan koalisi besar dengan segala kemewahannya, lengkap dengan pesta dangdut dan bintang tamu artis ibu kota.

Di sisi lain, ada koalisi kecil yang mungkin hanya bisa sewa orkes kampung dan panggung seadanya.

Tapi, pada akhirnya, siapa pun yang menang, rakyat tetap yang menunggu realisasi janji. Dan sering kali, janji itu hanya tinggal janji.

Koalisi besar? Jangan heran kalau rakyat cuma kebagian amplop dan nasi kotak waktu kampanye, lalu disuruh sabar lima tahun ke depan sambil lihat kepala daerah sibuk bayar utang politik. Koalisi kecil? Kalau menang, bisa jadi rakyat cuma dapat janji manis yang akhirnya terbentur birokrasi dan dewan yang tidak mendukung.

Koalisi vs. Kompetensi

Pertanyaan pentingnya adalah kenapa kita masih fokus pada koalisi, bukan kompetensi? Pilkada sering kali berubah jadi kompetisi siapa yang punya koalisi paling besar, bukan siapa yang punya program kerja terbaik.

Seolah-olah banyaknya partai pendukung adalah jaminan bahwa calon itu akan sukses memimpin. Padahal, sejarah sudah sering membuktikan, koalisi gemuk lebih sering berarti "kerja gemuk" untuk kepentingan partai, bukan rakyat.

Dan koalisi tipis? Kita sering menganggap mereka underdog, padahal banyak dari mereka yang punya integritas dan keberanian lebih untuk melawan sistem yang sudah korup.

Pilkada Serentak, pilih koalisi atau rakyat?

Pada akhirnya, rakyat harus sadar bahwa Pilkada ini bukan cuma soal siapa yang punya koalisi paling kuat. Ini soal siapa yang benar-benar peduli pada rakyat.

Koalisi besar atau kecil, bukan itu yang penting. Yang penting adalah bagaimana calon kepala daerah memimpin tanpa tersandera utang politik, tanpa tergoda korupsi, dan benar-benar bekerja untuk masyarakat.

Jadi, saat Pilkada nanti, ingat,  jangan cuma pilih karena bendera partai yang gemerlap atau baliho yang besar. Pilihlah calon yang punya rekam jejak, visi, dan keberanian untuk melawan sistem yang salah.

Karena pada akhirnya, rakyatlah yang harus menanggung harga dari setiap pilihan. Pilih dengan hati, bukan dengan amplop.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Analisis Selengkapnya
Lihat Analisis Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun