Di sisi lain, ada juga calon yang maju dengan koalisi tipis, hanya didukung satu atau dua partai. Kalau yang tadi seperti kereta barang, ini lebih mirip becak motor---cepat, tapi nggak bisa bawa terlalu banyak beban.
Koalisi tipis ini sering kali terpaksa ngirit. Baliho seadanya, kampanye nggak banyak embel-embel, bahkan spanduk pun kadang masih pakai cat tangan.
Tapi jangan salah, di balik kesederhanaannya, ada sesuatu yang menarik: calon seperti ini biasanya lebih "bebas." Kenapa?
Karena mereka nggak punya banyak utang politik. Nggak ada partai pendukung yang sibuk menagih jabatan atau proyek. Jadi, kepala daerah dengan koalisi tipis ini biasanya lebih fokus kerja.
Masalahnya, apa mereka cukup kuat melawan ombak besar dari koalisi gemuk di dewan? Kalau dewan didominasi partai lain, kepala daerah seperti ini bisa jadi sekadar simbol tanpa banyak ruang gerak.
Dan mari kita jujur, koalisi tipis juga sering dianggap "calon pelengkap." Banyak yang bertaruh mereka cuma ikut meramaikan Pilkada, bukan untuk menang. Kalau pun menang, ya, itu ibarat menang lotre---murni keajaiban.
Rakyat, Penonton di Sisi Ring
Lalu, apa kabar rakyat? Ah, seperti biasa, rakyat adalah penonton setia. Kita menyaksikan pertunjukan koalisi besar dengan segala kemewahannya, lengkap dengan pesta dangdut dan bintang tamu artis ibu kota.
Di sisi lain, ada koalisi kecil yang mungkin hanya bisa sewa orkes kampung dan panggung seadanya.
Tapi, pada akhirnya, siapa pun yang menang, rakyat tetap yang menunggu realisasi janji. Dan sering kali, janji itu hanya tinggal janji.
Koalisi besar? Jangan heran kalau rakyat cuma kebagian amplop dan nasi kotak waktu kampanye, lalu disuruh sabar lima tahun ke depan sambil lihat kepala daerah sibuk bayar utang politik. Koalisi kecil? Kalau menang, bisa jadi rakyat cuma dapat janji manis yang akhirnya terbentur birokrasi dan dewan yang tidak mendukung.