Pilkada serentak sudah di depan mata. Wajah-wajah calon kepala daerah mulai menghiasi baliho di setiap sudut jalan, lengkap dengan senyum lebar dan slogan bombastis.
Tapi di balik itu, pertarungan sebenarnya bukan cuma soal program kerja, melainkan soal "koalisi." Ada yang datang dengan koalisi gemuk, ibarat rombongan kereta barang yang penuh muatan.
Ada juga yang maju dengan koalisi tipis, mirip ojek daring yang cuma bawa satu penumpang. Pilihan koalisi ini, percaya atau tidak, jauh lebih menarik daripada program kerja itu sendiri.
Koalisi Gemuk, Semua Masuk, Semua Tagih Janji
Koalisi gemuk itu menarik. Dengan dukungan banyak partai, calon kepala daerah punya segalanya: jaringan besar, logistik melimpah, dan, tentu saja, akses mudah ke kantong donatur. Tapi jangan salah, koalisi gemuk itu bukan tanpa harga.
Kalau menang, kepala daerah harus siap jadi "bendahara bersama." Semua partai pendukung, dari yang besar sampai yang cuma sekadar numpang nama, pasti punya tagihan yang harus dibayar.
Kepala daerah yang didukung koalisi gemuk itu seperti masuk ke restoran all-you-can-eat, tapi lupa kalau setiap piring punya harga. Setelah menang, "pelayan" partai-partai ini akan datang satu per satu, minta jatah proyek, jabatan, atau kebijakan yang menguntungkan mereka.
Kalau kepala daerahnya nggak punya nyali untuk menolak, rakyatlah yang akhirnya bayar tagihan itu lewat anggaran pembangunan yang entah ke mana perginya.
Oh, jangan lupa, koalisi besar biasanya juga berarti program kerja yang lebih banyak komprominya.
Misalnya, calon ingin fokus pada pendidikan, tapi partai pendukung minta "fokuskan dulu pada proyek infrastruktur." Ujung-ujungnya? Program kerja berubah jadi proyek bagi-bagi untung.
Koalisi Tipis: Modal Nekat, Tapi Jujur?