Gibran Rakabuming Raka mungkin tampak sebagai langkah positif untuk meningkatkan kesejahteraan anak-anak. Namun, jika dilihat lebih dalam, kebijakan ini justru mengandung risiko besar: menciptakan stigma kemiskinan dan inferioritas bagi penerima bantuan. Alih-alih memberdayakan, pendekatan ini bisa membentuk pola pikir yang membuat anak-anak merasa inferior, menggantungkan harapan pada "pemberian" dari pemimpin.
Pemberian susu dan buku yang dilakukan oleh Wakil PresidenMemberi susu dan buku pada anak-anak, meski berniat baik, tidak akan mengatasi akar masalah. Sekilas memang terlihat seperti kepedulian, tetapi apakah hanya pemberian materi yang dibutuhkan untuk meningkatkan kesejahteraan mereka? Dalam konteks pendidikan dan pemberdayaan, tindakan semacam ini lebih mirip gimik populis yang memberikan kepuasan instan tanpa dampak jangka panjang.
Risiko Stigma Kemiskinan dan Ketergantungan
Di Indonesia, bantuan bersifat material seperti ini sering kali memperkuat stigma kemiskinan. Bukannya mendukung kemandirian, program-program semacam ini malah menekankan perbedaan sosial antara mereka yang "memberi" dan mereka yang "menerima." Alih-alih memicu rasa percaya diri dan kemampuan untuk berkembang, bantuan seperti ini berisiko membuat penerima merasa rendah diri, seolah-olah mereka selalu membutuhkan bantuan untuk maju.
Pada anak-anak, pola pikir ini bisa tertanam kuat. Mereka akan melihat pemimpin sebagai sosok yang "datang untuk memberi," bukan sebagai fasilitator yang membantu mereka menjadi mandiri. Tanpa disadari, bantuan langsung seperti susu dan buku justru membentuk generasi penerima yang hanya bisa menunggu apa yang diberikan, bukan generasi pembuat perubahan.
Belajar dari Pemimpin Muda di Luar Negeri
Lihat saja pemimpin muda lain di dunia, seperti Emmanuel Macron di Prancis atau Jacinda Ardern di Selandia Baru. Mereka tidak mengandalkan bantuan langsung atau program populis untuk meraih kepercayaan publik. Macron, misalnya, mendorong reformasi pendidikan dan pelatihan keterampilan untuk kaum muda, memberikan mereka modal untuk membangun masa depan secara mandiri. Di Selandia Baru, Ardern tidak hanya memberikan bantuan materi kepada keluarga berpenghasilan rendah tetapi membangun sistem dukungan berkelanjutan melalui kebijakan kesehatan dan pendidikan yang terjangkau bagi semua kalangan.
Pendekatan mereka fokus pada pemberdayaan, bukan ketergantungan. Mereka melihat kepemimpinan sebagai kesempatan untuk mendorong perubahan struktural dan jangka panjang, yang memungkinkan masyarakat berkembang tanpa terus bergantung pada bantuan.
Membutuhkan Pemimpin yang Menginspirasi, Bukan Sekadar Memberi
Masyarakat Indonesia, khususnya anak-anak dan generasi muda, butuh lebih dari sekadar buku atau susu. Mereka butuh akses pendidikan yang memadai, pelatihan keterampilan yang relevan, dan fasilitas kesehatan yang layak---semua hal yang memungkinkan mereka untuk berkembang secara mandiri. Pemimpin seperti Gibran perlu memahami bahwa kepemimpinan bukan hanya soal memberi, tetapi menciptakan peluang dan lingkungan di mana rakyat bisa berkembang tanpa bergantung pada "hadiah" dari penguasa.
Alih-alih membagikan bantuan materi yang cepat habis, Gibran bisa mengarahkan programnya ke arah yang lebih berkelanjutan, seperti membangun pusat belajar, menyediakan fasilitas kesehatan anak yang bisa diakses sehari-hari, atau mendukung program literasi yang berkelanjutan. Langkah-langkah ini tidak hanya akan menciptakan perubahan jangka panjang tetapi juga membangun generasi yang percaya diri dan tidak merasa inferior di hadapan pemerintah.