Mohon tunggu...
Abdul Wahid Azar
Abdul Wahid Azar Mohon Tunggu... Wiraswasta - Founder/CEO Multiartha Group, Aktifis KAHMI dan PP Ikatan Persaudaraan haji Indonesia

Penulis adalah Pengusaha, memulai karir dari UKM- Wartel hingga menjadi vendor Perusahaan besar dan bank di Indonesia, Hobi menulis (beberapa media), Penulis buku Mindset dan Bondo Nekad, Tekad wong ndeso menjadi legislator (ditulis dalam rangka caleg DPR RI).

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Naik Kereta Api Tut-Tut-Tut Siapa Hendak Turut? Ke Bandung-Surabaya, "Bolehlah naik dengan Percuma"

1 November 2024   09:21 Diperbarui: 1 November 2024   10:02 43
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Setiap kali lagu legendaris dari Ibu Sud ini berkumandang, yang terbayang bukan hanya gerbong-gerbong kereta yang bergoyang, tetapi juga kisah-kisah lucu nan penuh warna dari masa lampau. Zaman dulu, naik kereta api bukan sekadar naik transportasi, melainkan sebuah petualangan penuh bumbu. Bayangkan saja, dahulu naik kereta memang bisa saja "gratis" --- asalkan kita punya nyali besar dan tak takut pada tinggi.

Bayangkan, perjalanan dari Bandung ke Surabaya tanpa tiket. Kok bisa? Ya, begitulah dulu, ada yang bahkan duduk santai di atas gerbong. Jangan heran kalau atap gerbong pernah jadi "tempat duduk kelas ekonomi super hemat." Kalau sudah penuh di dalam, kenapa tidak mencoba "kelas rooftop"?

Cerita Para Penumpang "Cerdas" di Atas Gerbong

Para penumpang zaman dulu punya logika unik. Mereka beranggapan, "Kenapa harus bayar kalau bisa sembunyi?" Kalau ada yang melihat penumpang bersantai di atap gerbong, ya... anggap saja mereka sedang menikmati pemandangan gratis! Tidak sedikit yang berpikir, "Jika duduk di dalam mahal, duduk di atas gratis, bukankah itu penghematan?"

Tentu, untuk penumpang macam ini, ada pantangan besar: jangan sampai ketahuan petugas. Kalau ada petugas lewat, langsung rebahan gaya ninja, menutup badan seolah tak terlihat. Jadi, bukan hal yang aneh kalau petugas menemukan "tempat duduk" tambahan di atap kereta. Mau terik panas atau hujan deras, semua demi perjalanan "dengan percuma." Benar-benar "kelas ekonomis," kan?

Kondektur Penegak Aturan dengan senjata Catut Ajaib

Nah, dalam dunia kereta api yang penuh nuansa petualangan ini, sosok kondektur adalah bintang utama. Kondektur punya tanggung jawab besar, mulai dari memastikan semua penumpang punya tiket hingga mengamati gerbong dengan teliti. Jadi, siapa pun yang naik gratis tentu langsung diintai dengan mata tajam para kondektur.

Di sini muncul lelucon: "Apa tugas utama kondektur? Melihat apa? Kalau bukan tiket, ya... uang." Tidak ada kompromi. Jika menemukan penumpang tanpa tiket, mereka hanya punya dua pilihan bayar tiket  atau keluarkan lembaran uang cash, Karena kondektor selalu bawa catut... tentu sudah biasa catut mencatut diatas kereta api, bahkan saking terbiasanya soal catut mencatut, diatas gerbong luar kota pun ada kordinator penumpang (semacam Korlap) seseoang yang mengumpulkan uang penumpang "cerdas" untuk diserahkan secara kolektif ke kondektur, tentu saja dicaut dulu sama sang korlap.... Namun jangan salah kekuasaan korlap bisa menghentikan laju kereta sesuai stasiun diinginkan, tentu loby sama sang masinis....

PPKA,  Pahlawan Pengatur Kereta atau "Pira-pira Kudu Ana?"

Bagi petugas kereta, salah satu posisi paling bergengsi adalah PPKA, alias Petugas Pengatur Kereta Api. Namun, di kalangan pegawai, PPKA mendapat plesetan jenaka, menjadi "Pira-pira Kudu Ana?" alias "Berapapun harus ada?" Konon, Lelucon ini mewarnai interaksi sehari-hari antarpegawai KAI. Bayangkan, PPKA bisa mengatur jadwal, memastikan jalur, sekaligus menerima "bonus" dari para kondektur  "kreatif." Jadi, PPKA ini tak hanya jago mengatur kereta, tetapi juga piawai mengatur situasi dengan penuh "keluwesan."

Kisah ini semakin menarik dengan tambahan detailnya. Jadi, PPKA atau Pengatur Perjalanan Kereta Api memang petugas yang menjaga perjalanan kereta selama 24 jam di setiap stasiun. Dalam interaksi dengan kondektur, mereka memiliki istilah khas, "Pira-pira kudu ana," yang berarti "berapapun harus ada" Kalau laporan atau interaksi berlangsung, petugas kondektur mesti siap dengan "apapun yang harus ada" sebagai bagian dari tradisi jenaka dan sedikit "seni negosiasi" dalam operasional kereta api saat itu.

Dengan sistem yang sudah berubah total, interaksi semacam itu kini tinggal cerita nostalgia, di mana kondektur dan PPKA berbagi kode-kode tersendiri yang kini menjadi kisah unik di dunia perkeretaapian.

Revolusi Kereta.  Ignatius Jonan Sang inovator

Kemudian, tibalah era Ignatius Jonan. Ia datang bagai angin perubahan yang membawa prinsip ketat, disiplin, dan anti-kompromi. Semua celah-celah lama yang dulu bisa dimanfaatkan ditutup rapat-rapat. Bukan hanya petugas yang ketar-ketir, tetapi para penumpang "tanpa tiket" juga jadi target utama. Jonan dengan tegas melarang semua aksi naik kereta tanpa tiket dan menerapkan sistem baru yang tak lagi mengenal kompromi. Semua serba tertib.

Kini, hanya penumpang resmi yang boleh naik, itupun dengan tiket yang harus dibeli. Jadi, para "penumpang kreatif" pun terpaksa hengkang dari gerbong atau atap kereta. Kondektur tak lagi jadi "penerima tiket atau uang," melainkan pengawas ketat yang menjaga ketertiban. Sejak itu, kita tahu bahwa naik kereta api tak bisa lagi "dengan percuma."

Didiek Hartantyo dan Digitalisasi KAI

Ketika Didiek Hartantyo mengambil alih, perubahan KAI tak berhenti di sana. Sekarang, tak ada lagi antrian panjang membeli tiket. Semua serba digital. Tinggal klik, bayar, dan e-ticket pun langsung ada di genggaman. Inovasi digital menjadi solusi praktis yang membuat pengalaman naik kereta semakin nyaman.

Sekarang, kalau mendengar lagu Naik Kereta Api lagi, kita bisa tersenyum sambil mengenang masa-masa "gratis ngumpet" yang tak mungkin terjadi lagi. Memang, era digital telah membawa kereta api Indonesia ke babak baru. Jadi, bagi kita yang ingin nostalgia, bolehlah mengenang masa itu sambil tersenyum. Tapi, untuk sekarang...lyrik lagu ini harus di amandemen.

 

"Naik kereta api, tut-tut-tut! Siapa hendak turut? Ke Bandung-Surabaya, bolehlah naik dengan beli tiket online...... (tidak bisa lagi " bolehlah naik dengan percuma")

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun