Krisis keuangan yang melanda PT Sri Rejeki Isman Tbk (Sritex) menimbulkan perdebatan besar di kalangan publik dan pemerintahan. Sritex, salah satu raksasa tekstil nasional, menghadapi utang besar hingga miliaran dolar yang membahayakan keberlanjutan perusahaannya. Namun, rencana pemerintah untuk menyelamatkan perusahaan swasta ini dengan restrukturisasi atau suntikan dana negara mengundang pertanyaan: mengapa di saat banyak Badan Usaha Milik Negara (BUMN) mengalami kesulitan keuangan serupa, perhatian justru lebih difokuskan kepada sektor swasta? Situasi ini tampak seperti pepatah "anak dipangku dilepaskan, beruk di rimba disusukan" --- saat tanggung jawab negara pada BUMN yang sakit justru tampak terabaikan.
Sritex: Gagasan Penyelamatan dan Dampak Sistemik
Sritex bukanlah perusahaan kecil. Sebagai salah satu penghasil tekstil terbesar di Indonesia, Sritex memainkan peran penting dalam industri tekstil nasional, baik melalui ekspor maupun penyediaan lapangan kerja bagi lebih dari 50 ribu orang. Pemerintah memandang bahwa kebangkrutan Sritex bisa berdampak sistemik pada industri tekstil dan seluruh rantai pasokan terkait, yang terdiri dari pemasok lokal hingga jaringan distribusi yang bergantung pada Sritex sebagai pelanggan utama. Sritex berpotensi memicu gelombang PHK besar-besaran, yang akan membawa konsekuensi sosial dan ekonomi yang serius bagi masyarakat.
Oleh karena itu, pemerintah mempertimbangkan untuk mengalokasikan dana penyelamatan dalam bentuk restrukturisasi atau suntikan modal negara, dengan dalih menjaga stabilitas industri dan menghindari efek domino pada sektor terkait. Namun, wacana ini menimbulkan kekhawatiran di tengah publik: apakah penyelamatan Sritex benar-benar untuk kepentingan nasional, atau sekadar kamuflase untuk menyelamatkan pihak tertentu yang terkait erat dengan kepentingan bisnis perusahaan ini? Jika pemerintah serius dalam menanggapi ancaman kebangkrutan dengan penyuntikan dana, bagaimana nasib berbagai BUMN yang juga membutuhkan dukungan namun seringkali justru terabaikan?
BUMN dalam Krisis, Mengapa Mereka Terabaikan?
Pada tahun 2024, berbagai BUMN berada dalam situasi yang sangat genting. PMN (Penyertaan Modal Negara) memang disalurkan ke sejumlah BUMN besar, namun kinerja mereka tetap di bawah ekspektasi, dengan sebagian masih bergulat dengan utang dan masalah tata kelola. Berikut ini beberapa contoh BUMN yang menghadapi tantangan besar, meskipun telah menerima suntikan modal dari pemerintah :
- Hutama Karya menerima suntikan PMN sebesar Rp18,6 triliun untuk mendukung proyek Tol Trans Sumatera dan proyek tol yang digarap PT Waskita Karya Tbk. (WSKT). Namun, besarnya beban keuangan dan kompleksitas proyek yang panjang membuat Hutama Karya berisiko terjebak dalam utang jangka panjang. Ketergantungan yang besar pada PMN menunjukkan bahwa meskipun didukung oleh dana negara, pengelolaan perusahaan ini belum efisien dan justru menambah beban fiskal.
- Garuda Indonesia adalah salah satu contoh BUMN yang gagal sepenuhnya pulih meskipun telah menerima PMN berkali-kali. Masalah tata kelola, ketidakefisienan operasional, dan manajemen risiko yang lemah membuat maskapai ini terus terjerat utang, meskipun seharusnya telah dibantu dengan dana restrukturisasi dan subsidi pemerintah. Kondisi Garuda yang kronis ini menjadi preseden buruk tentang bagaimana dana penyelamatan sering kali hanya menjadi solusi sementara, tanpa memperbaiki akar masalah.
- Krakatau stell Meskipun mendapatkan restrukturisasi utang dan PMN, Krakatau Steel tetap bergulat dengan biaya produksi yang tinggi dan ketergantungan besar pada bahan baku impor. Inefisiensi di tubuh Krakatau dan rendahnya daya saing di pasar baja global membuatnya sulit bertahan tanpa dukungan negara, menunjukkan bahwa masalah struktural di BUMN besar membutuhkan lebih dari sekadar dana penyelamatan.
- PT. PLN, yang mendapatkan PMN sebesar Rp5,86 triliun pada 2024, memiliki tantangan besar dalam upayanya melistriki wilayah 3T (tertinggal, terdepan, dan terluar). Namun, PLN masih dibayangi utang besar karena komitmennya dalam proyek-proyek nonkomersial yang memerlukan pembiayaan besar tanpa jaminan laba. Kondisi ini menunjukkan betapa PMN yang diberikan kepada BUMN belum cukup mengatasi beban utang yang tinggi dan manajemen yang tidak optimal.
Preseden Buruk, Penyuntikan Modal tanpa Pengawasan Ketat
Berdasarkan pengalaman berbagai BUMN yang terus menerima suntikan modal tanpa perbaikan kinerja signifikan, penting untuk melihat bahwa PMN bukan solusi akhir untuk mengatasi kebangkrutan atau kesulitan keuangan perusahaan. Pengalaman ini menjadi pelajaran bagi wacana penyelamatan Sritex: jika dana penyelamatan tidak disertai pembenahan tata kelola dan akuntabilitas yang jelas, kemungkinan besar penyuntikan modal hanya akan menjadi "tambal sulam" tanpa dampak berkelanjutan.
Garuda Indonesia, misalnya, telah menerima PMN berulang kali, tetapi tanpa manajemen yang efektif dan efisiensi operasional, masalah utangnya justru berulang. Penyuntikan modal menjadi preseden buruk, mengirim sinyal kepada pasar bahwa perusahaan negara dapat terus diselamatkan meskipun mereka beroperasi secara tidak efisien. Hal ini juga menciptakan moral hazard, di mana perusahaan dan manajemen merasa bahwa kegagalan keuangan mereka selalu dapat diatasi oleh negara tanpa adanya risiko bagi mereka.
Sritex: Bagaimana Pemerintah Harus Bertindak?