Mohon tunggu...
Abdul Wahid
Abdul Wahid Mohon Tunggu... Dosen - Dosen Fakultas Hukum Universitas Islam Malang

Dosen Fakultas Hukum Universitas Islam Malang dan Penulis sejumlah buku

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Demi Melawan Pembasmian

28 November 2021   06:58 Diperbarui: 28 November 2021   07:02 57
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Oleh: Abdul Wahid

Pengajar Pascasarjana Universitas Islam Malang dan penulis buku

Pernah ada temuan, dari 100 mahasiswa, empat diantaranya jadi pecandu, sehingga benar-benar memilukan, pasalnya sebagai komunitas elit perubahan sejarah Indonesia, dirinya sedang mengidap penyakit berat yang membutuhkan perubahan radikal. Tanpa revolusi diri, jangan diharapkan label sebagai agen perubahan sosial masih layak melekat pada dirinya

Kalangan pembelajar paham, narkoba adalah "mesin" pembunuh yang jelas-jelas mematikan. Zat adiktif ini hanya bisa digunakan ketika kebutuhan medis atau pengobatan, seperti digunakan untuk membius pasien yang akan menjalankan operasi. Penggunaannya pun harus ada standar atau dosis yang tepat supaya tidak berefek mematikan. Sayangnya, oleh mahasiswa, zat ini digunakan untuk membius dirinya sendiri, sehingga ke depan generasi ini akan kesulitan melepaskan diri dari kolonialisasi yang diproduknya sendiri.

Mereka itu sedang terbius kesadarannya, sehingga menjerumuskan dirinya dalam kultur gaya hidup yang sesat dan jahat. Mereka lebih menjatuhkan pilihan di jalan hidup kriminalistik atau  pola pemberhalaan gaya hidup yang merangsang terpenuhinya kesenangan sesaat. Keterjerumusan ini mengindikasikan kalau mereka sedang takluk di bawah hegemoni perubahan gaya hidup yang membuainya.

Pemberhalaan gaya hidup yang dilakukannya ini tidak terpisahkan dari kecenderungan menguatnya fenomena coba-coba atau eksperimen yang dtawarkan dan dipenetrasikan oleh masing-masing subjek sosial. Ketika seorang mahasiswa  masuk dalam jaringan kelompok yang terbiasa membuka kran kebebasan dan terbentuknya pola belerasi berbingkai patologi sosial, maka yang lain yang masuk dalam jaringannya, akan sulit mengelak untuk tidak mengikuti pola eksperimen, seperti mencoba rasanya narkoba.

Narkoba digunakan membius kesadaran, kecerdasan, dan kebeningan nuraninya sendiri. Ketika dirinya sudah terjerumus menjadi pecandu, apalagi sampai jadi distributor misalnya, sulit diharapkan dalam dirinya tetap bertahan kecerdasan bernalar dan kebeningan nurani.  Hal ini tentu saja menyulitkan posisinya sebagai agen perubahan, pasalnya dengan posisi sedang terbius berat ini rasanya mustahil dirinya masih punya kepekaan kebangsaan untuk membaca dan memperjuangkan problem reformasi. 

Bagaimana mungkin mahasiswa bisa menjadi pejuang lagi di garis depan reformasi kalau mereformasi dirinya sendiri saja gagal? Bagaimana mungkin bisa diharapkan bisa jadi pelaku sejarah setrategis kalau apa yang diperbuatnya telah menjadikannya sebagai mayat-mayat hidup?

Mahasiswa tidak mungkin tidak mengetahui efek mematikan dari narkoba, karena dirinya  sudah mendapatkan pelajaran tentang macam-macam zat yang bermanfaat maupun membahayakan dirinya. Kalau sampai dirinya terjerumus atau menjerumuskan dirinya jadi pecandu maupun distributor, maka apa yang dilakukannya ini sama artinya dengan "harakiri".

Seseorang yang sudah tahu kalau jenis perbuatan yang akan dilakukannya itu berefek membahayakan dan mematikan, tetapi tetap saja ia menjatuhkan opsi dengan perbuatan itu, tentulah seseorang yang demikian ini tidak lagi menghormati dan memanusiakan dirinya sendiri. Ia tidak mensyukuri karunia Tuhan yang telah memberikannya hak hidup dan mengembangkan diri. 

Dalam Deklarasi HAM Universal atau UDHR  (Universal Declaration of Human Right) juga dijelaskan, bahwa setiap orang punya hak untuk hidup, bebas dari penyiksaan, dan bebas dari perbudakan. Dalam pasal 9 ayat (1) Undang-undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia (HAM) juga disebutkan Setiap orang berhak untuk hidup, dan mempertahankan hidup dan meningkatkan taraf kehidupannya.

Seseorang yang sedang mengidap penyakit mematikan seperti liver, leukemia, dan AIDS saja berjuang mencari obat dan berusaha menyelamatkan hak hidupnya, maka seharusnya mahasiswa pun berjuang melawan kekuatan darimana pun datangnya yang menggempur atau menginvasinya yang bermaksud menjadikannya sebagai budak-budak budaya dan membunuhnya.

Rendahnya penghormatan terhadap hak hidup diri sendiri dan sesama itulah yang seharusnya tidak perlu terjadi. Nurcholis Majid pernah mengingatkan "penghormatan terhadap nyawa seorang manusia sama dengan penghormatan terhadap nyawa manusia sejagad, dan pencabutan nyawa seorang manusia sama artinya dengan pencabutan nyawa manusia sejagad".

Apa yang disampaikan Cak Nur itu merupakan bentuk penghormatan terhadap hak hidup manusia. Idealnya, manusia tidak boleh menjerumuskan dirinya sendiri dalam  kebinasaan, karena hak hidup adalah karunia Tuhan yang sangat istimewa yang menjadi modal utama manusia sebagai pelaku sejarah. Sangatlah naf kalau mahasiswa yang sudah mendapatkan pelajaran tentang kewajiban menjaga, melindungi, dan membela mati-matian hak hidupnya justru menjatuhkan opsi "harakiri", suatu tindakan bunuh diri yang dilakukan secara tidak langsung akibat menjadi pecandu berstadium akut..

Seharusnya mahasiswa belajar dari kasus generasi muda Amerrka Serikat, yang angka kematian terbesarnya disebabkan oleh narkoba. Narkoba telah menjadi "mesin" pembunuh yang mematikan generasi muda AS. Meski demikian, mereka juga kesulitan membebaskan dirinya dari jerat penyalahgunaan zat adiktif ini, karena cukong-cukong narkoba baik yang berasal dari luar komunitasnya maupun yang berkeliaran di  internal komunitas mahasiswa telah demikian kuat mencengkeramnya.

Jika mahasiswa tidak melakukan "Gerakan Moral" (Germo) secara berlanjut, rasanya perjuangan yang dilakukan oleh negara atau aparat penegak hukum akan sangat berat. Bandar ini akan terus menciptakan atau memproduk pasar strategis baik oleh dan dengan kekuatan sindikat globalnya maupun oknum-oknum mahasiswa yang berhasil dibuatnya jadi  "boneka budaya" yang bersedia dijadikan mesin pembasmiannya.

Daya rangsang selalu dan akan terus digelorakan oleh sindikat global supaya mahasiswa rela melakukan apa saja, termasuk menjatuhkan opsi "harakiri" budaya gaya hidup normal menjadi budaya gaya hidup serba pop bermodus permisifitas untuk jadi pemakai, pecandu, atau pengedarnya.

Mereka yang terjebak (sebagai pecandu atau pengedar) dalam penyalahgunaan narkoba berarti menjerumuskan dirinya dalam episode kematian secara gradualitas, tahap demi tahap hingga totalitas dalam atmosfir mengerikan.

 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun