Oleh: Abdul Wahid
Pengajar Universitas Islam Malang dan penulis Buku
Setiap warga negara Indonesia mestinya cerdas membaca dan pandai beradaptasi dengan realitas kalau hidup di di negara berdasar Pancasila ini mestilah menghadapi pluralitas. Siapapun adanya yang sudah memilih Indonesia, wajiblah menjunjung tinggi hidup berkeadaban dalam keragaman, dan bukan barbarian dalam keragaman.
Prinsip "persaudaraan dalam pluralitas dan pluralitas dalam persaudaraam" senyatanya bisa menjadi modal moral yang mampu membingkai bangunan kehidupan kemasyarakatan secara inklusif dan humanistik bilamana persaudaraan itu disejarahkan dengan dan melalui dorongan cinta.
Melalui cahaya cinta, seseorang yang jadi "penasbihnya", akan mampu menyelami ragam kesulitan atau derita orang lain, dan harmoni kehidupan sesama, pasalnya dalam dirinya muncul panggilan pengabdian  universalitas kalau dirinya bukan hanya milik dirinya sendiri, tetapi juga menjadi "milik" orang lain.
Memang, tanpa cinta, dunia akan benar-benar membeku, pasalnya kalau dalam diri kita tidak bersemai rasa cinta, berarti akan ada kebekuan sistem, stagnasi budaya, represi politik, arogansi kelompok, dan kematian relasi antar manusia yang berbasis  saling memanusiakan (memartabatkan).
Sudah banyak kita temukan berbagai bentuk petaka sosial, tragedi bangsa, praktik kekejaman atau kebiadaban baik pelakunya individual maupun kelompok, baik oleh massa maupun negara, yang mencerminkan kondisi riil "dunia sedang membeku" akibat kematian cinta di dalam dirinya.
Kalau dalam diri manusia itu dihidupkan kata "cinta", maka bangunan kehidupan bermasyarakat ini tidak akrab oleh berbagai bentuk kebiadaban dan potret empirik perilaku kebinatangan yang terjadi di negeri ini, pasalnya di dalam diri pecinta ini punya kecenderungan kuat untuk melabuhkan dirinya dalam pemihakan atau perlindungan martabat kemanusiaan.
Kasus terorisme merupakan bentuk kebiadaban manusia, yang dalam wacana publik dikategorikan sebagai kebiadaban sempurna. Â Sadisme bercorak barbarianisme demikian bisa dikalahkan oleh atau model masyarakat yang dimanapun dan kemanapun atau bergaul dengan siapapun, selalu "membahasakan" cinta.
Membaca soal korban terorisme adalah membaca diri kita yang suka radikalitas. Korban terorisme dan radikalisme merupakan alasan utama yang seharusnya menguatkan keyakinan kita, bahwa bukan hanya Indonesia saja yang sudah pernah menderita akibat kebiadaban terorisme, tetapi bangsa-bangsa besar di muka bumi sudah merasakan peristiwa berdarah yang diproduk teroris.Â
Kita bisa baca kasus tragedi bersejarah di Paris misalnya dengan jumlah korban tewas mencapai sedikitnya 130 merupakan contoh brutalitas teroris,dan bukan wujud perilaku keagamaan
Perlu direfleksi, bahwa akibat aksi teroris,sudah ribuan manusia tewas di dunia ini, termasuk Indonesia. Ini menandakan, bahwa opsi berdarah merupakan pilihan logis dalam skema terorisme.
Pilihan atau opsi berdarah seolah diidentikkan sebagai bagian dari kehidupan normal dalam suatu pergulatan sosial yang harus diterima
Kritik kalau diantara kita ini gampang jadi "produsen" barbar atau terorisme dimana-mana juga pernah dilontarkan J.E. Sahetapy (2002) mengapa bangsa yang katanya berbudaya, berbudi luhur, ramah, tamah, beradab, santun, religius, Â tolong menolong, dan gotong royong ini bisa berubah menjadi bangsa atau masyarakat yang homo homini lupus, anarkis, brutal, Â dan biadab dalam hampir seluruh bidang kehidupan, dan strata.
Komunitas teroris telah memberi bukti ungkapan Sahetapy itu,  bahwa mereka dengan gampang bisa meledakkan bom untuk menghabisi sesama hanya gara-gara perbedaan "madzhab" dan kepentingan. Mereka telah membopengkan wajah negeri ini sehingga distigma  barbarian sebagai "republic of horror".
Terorisme dapat disebut sebagai sampel kematian cinta universalitas dalam diri sang pelakunya. Kalau ia betul-betul menghormati hak kehidu  (right for life), tentulah ia mencintai obyeknya, tidak perlu memproduk ketakutan publik, tidak membahasan "kebinatangan" atau ba sebagai opsi logis, atau tidak membiarkan tangannya dikotori nyawa manusia tak berdosa..
Paradigma berbasis saling mengasihi dan memanusiakan merupakan doktrin ajaran Islam bercorak inklusif humanistik, yang memperlakukan orang lain dalam ranah sosial sama-sama sebagai subyek, atau memposisikan setiap elemen bangsa sebagai konstruksi kekuatan keadaban dan hidup berdampingan dalam keragaman.
"Tidak beriman seseorang diantara kalian sehingga mencintai saudaranya (sesamanya) sebagaimana kalian mencintai diri sendiri", demikian peringatan Nabi Muhammad SAW, yang menunjukkan kesejatian dimensi teologi fundamental seseorang yang ditentukan oleh aksi-aksi empirik pembumian komitmen sosiologis dan humanitasnya.
Kalau kesejatian teologis itu bisa disejarahkan oleh setiap insan di ranah lokal, nasional hingga global, maka barangkali penyakit yang bernama pengeboman atau sadisme gaya baru ini tidak akan pernah terjadi. Bahasa Cinta akan mmpu mengeliminasi bahasa darah.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H