Sabda itu juga mengajarkan tentang standar tentang peran, maknanya  peran demikian itu dapat bermanfaat untuk membangun dan menguatkan persaudaraan kemanusiaan (ukhuwah insaniyah) dan persaudaraan kerakyatan (ukhuwah istirakiyah) antara golongan mapan dengan miskin, atau elemen sosial yang berbeda-beda.Â
Perbedaan atau keragama tidak dijadikan alasan menciptakan disparitas dan disharmonisasi, tetapi dijadikan kesempatan untuk saling mendukung, mengayomi, dan melindungi. Masing-masing elemen sosial terdorong menjadi pelaku yang berorientasi memberi manfaat, dan bukan menabur perilaku yang merugikan sesamanya.
Peran seperti itu seharusnya disosialisasikan dan budayakan di tengah masyarakat, apalagi saat kondisi masyarakat gampang sekali diusik oleh problem kekerasan internal dan  lintas agama. Â
Problem kekerasan demikian tidak akan sampai terjadi dan marak, manakala setiap pemeluk agama berlomba memperlakukan orang lain yang berbeda dengan dirinya sebagai saudara. Perlakuan ini terukur dari seberapa besar dan sering relasi kemanusiaan yang dibangunnya.
Katakanlah dalam suatu bencana alam, selain harta melayang dan sumber pendapatan menghilang, juga hadirnya berbagai bentuk problem baru yang sangat serius, seperti luka-luka infeksi yang mengancam dan membahayakan kesehatan dan nyawa Â
Beban  komplikatif masyarakat korban bencana alam ini akan bisa diperingan atau dientas oleh manusia-manusia yang di dalam hidupnya mau belajar dari filosofi kebersamaan atau minimal pendapatnya filosof yang banyak mengajarkan makna kebersamaan tentang status  manusia sebagai makluk sosial.
Dalam gagasan para "guru filsafat" Â itu disebutkan, bahwa manusia itu membutuhkan manusia lain guna memenuhi kebutuhan hidupnya. Manusia tidak bisa menempuh jalan individualis, karena manusia tidak akan bermakna tanpa dukungan manusia lain.
Kemanfaatan yang diberikan oleh seseorang pada orang lain adalah kenyataan tentang fungsionalisasi (pemanfaatan) dirinya sebagai insan pluralis.Â
Kalau pohon pisang saja misalnya berani mempertaruhkan hidup dan matinya ini demi kemaslahatan manusia, seharusnya manusia pun berani menunjukkan peran-peran sucinya untuk mengentas problem yang sedang menghimpit sesamanya atau makhluk Tuhan lainnya, tanpa mengalkulasi kondisi pluralisme, dan bukannya menghadirkan beban dan petaka sosial.
Perbedaan yang diberikan oleh Tuhan sejatinya sebagai tuntutan moral pada manusia supaya mengakui kalau eksistensi dirinya di tengah masyarakat akan teralinasikan, manakala tidak memberi yang terbaik pada sesamanya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H