Oleh Abdul Wahid
Pengajar Universitas Islam Malang dan Penulis buku
Filosof kenamaan Aristoteles pernah mengingatkan, bahwa manusia itu makhluk social, makhluk berpolitik, yang satu sama saling tergantung dalam pemenuhan kepentingan. Tidak ada seorang pun yang bisa menjalani kehidupan dengan kemampuannya sendiri, pasalnya eksistensinya ditentukan oleh lainnya.
Dalam ranah itu, logis sebenarnya jika terjadi keragaman sosok manusia. Dengan keragamannya justru bisa saling mendukung dan memberi jawaban terhadaap problem beragam yang dihadapi sesamanya.Â
Kondisi pluralitas ini sejatinya sudah jadi bagian penting dari obyek pencerdasan pada manusia, bahwa dengan keragamanlah urusan yang beragam dalam kehidupannya bisa dijawab.
Masalahnya yang kita temukan di masyarakat, kenapa pluralisme gampang dijadikan sasaran tembak sebagai akar penyebab terjadinya dan meledaknya kekerasan? Yang bersalah pluralismenya ataukah elemen sosial, agama, ekonomi, dan lainnya yang wajib bertanggungjawab?
Dalam realitas sejarah pergulatan hidup manusia, jelas sekali bahwa pluralisme tidak pernah bersalah. Manusia ini diciptakan oleh tuhan secara bermacam-macam, bukan homogen (tidak pernah seragam). Perbedaan ini menceminkan sunnatullah, yang menuntut setiap orang bisa berperan dengan cerdas di tengah keragaman.
Banyak model atau pola yang ditunjukkan manusia dalam menyikapi pluralitas. Ada yang arif dan cerdas menyikapi nya, namun ada pula yang tidak menerima realitas pluralisme.Â
Bagi yang tidak menerima ini, baik karena alasan ekonomi, etnis, keyakinan dan agama yang dipeluknya maupun alasan subyektifitasnya sendiri, dicoba dilampiaskan dengan gerakan radikalisme atau mengusik sesamanya dengan tangan-tangan jahat dan kejinya.
Islam mengajarkan doktrin universalitas dan humanitas pada setiap manusia, bahwa aktifitas yang dijalani seseorang terlarang menimbulkan kesulitan atau petaka bagi sesamanya. "Sebaik-baik manusia adalah mereka yang memberikan manfaat kepada manusia lain", demikian sabda Nabi Muhammad SAW, yang mengingatkan manusia tentang makna berperan sosial yang bersifat memberikan manfaat, dan bukan kerugian pada sesamanya.
Dalam sabda Nabi itu mengajarkan tentang makna hidup bagi manusia yang ditentukan oleh kadar peran yang dimainkannya di masyarakat pluralistik. Ketika banyak peran positip yang diperbuatnya, maka peran ini identik dengan memberi dan menciptakan keberdayaan, keharmonisan, dan keberlanjutan hidup orang-orang yang sedang kesulitan.