Mohon tunggu...
Abdul Wahid
Abdul Wahid Mohon Tunggu... Dosen - Dosen Fakultas Hukum Universitas Islam Malang

Dosen Fakultas Hukum Universitas Islam Malang dan Penulis sejumlah buku

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Model Membumikan Persaudaraan Inklusif

16 Oktober 2021   06:54 Diperbarui: 17 Oktober 2021   04:26 250
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Model atau pola beragama di tengah masyarkat itu bermacam-macam. Ini tidak lrpas dari keyakinan dan pemahaman keagamannya yang berbeda-bdea pula. 

Ada yang tingkat pemahamaan keagamannya belum kuat atau masih dangkal, sementara banyak pula yang lebih menampilkan sisi formalitasnya, seperti senang dan bangga telah menjalankan aktifitas keagamaan dengqan biaya tinggi yang dominan pingin dapat stigma public.

Sisi formalitas utulah yang kemudian sering taerbaca dan dijadikan tolok ukur oeh kebanyakan orang. 

Dalam ranah formalitas keagamaan ini, barangkali berbagai kegiatan bertemakan "merajut persaudaraan" sudah seringkali kita adakan, yang kesemuanya ini mengesankan seolah-olah persaudaraan sejati sudah terwujud dan bahkan membumi.

Sayangnya d ibalik itu, kenyataan masih bicara lain, segmen bangsa ini belum menunjukkan persaudaraan sucinya. 

Persaudaraan dengan penuh curiga dan bahkan saling menghakimi yang diikuti berbagai bentuk perilaku tidak terpuji zeperti gampang membuat hidup orang lain tidak tenang  seringkali dibiarkan tampil ke permukaan sebagai kesenangan utama dan pemenangnya.

Pergaulan masih layaknya pergaulan selebriti politik yang menggunakan prinsip teman dan lawan sejati adalah kepentingan. 

Begitu kepentingan pragmatis atau target tertentju dapat terpenuhi dan tampil mendominasi dan menghegemoni, maka makna harkat sesama atau nyawa manusia ikut dipertaruhkan.

Model persaudaraan demikian itu wajib disucikan dari pemutlakan kepentingan diri, faksi, atau kelompok. Kalau tidak, atmosfir kehidupan kemasyarakatan dan kenegaraaan ini menjadi sulit mencapai harmonisasi, dan bahkan lebih  menampakkan kondisi yang kontra produktif.

Penyucian atau restorasi ini akan menjadi syarat fundamental untuk membangun atau mewujudkan perikatan persaudaraan yang harmonis dan inklusif.  

Syarat fundamental inilah yang tidak selalu dengan rela dan berbesar jiwa lainnya diikuti oleh setiap diri subyek bangsa, karena di tabgan mereka inilah arah pembangunan keharmonisan makro dalam kehidupan berbangsa ditentukan warnanya.

Idealitasnya di negara seperti Indonesia yang sangat pluralistik, termasuk dalam bidang keagamannya ini, setiap bentuk kepentingan pragmatis dan berpola atau berkarakter egoisme sektoral wajib dikalahkan oleh persaudaraan kemanusiaan dan kerakyatan yang purifikan. 

Egoisme tidak boleh menjadi virus atau dikembangkan jadi penyakit mengerikan yang membuat konstruksi social kemanusiaan jadi rusak dan porak poranda.

"Tidak disebut beriman diantara kalian, sehingga mencintai saudaranya sebagaimana kalian mencintai diri sendiri", demikian sabda Nabi Muhammad SAW, yang mengingatkan kesejatian dimensi teologi kemanusiaan adalah ditentukan lewat pembumian dan pemberdayaan cinta kepada sesama. 

Kata "sesama" dalam hadis ini menunjukkan kuatnya posisi manusia dalam konstruksi kualitas keimanan  setiap subyek beragama.

Sementara cinta kepada sesama ini barulah bermakna jika dosisnya tidak sederajat dengan nilai penghormatan terhadap dirinya sendiri. Cinta pada sesama ini merupakan "proyek" istimewa yang membuat setiap orang yang menyebut beriman layak mendapatkan derajat tinggi keimanannya.

Umumnya manusia itu bisa menunjukkan empati dan cintanya kepada orang lain  tidak seadil dan seagung ketika memuliakan atau memperlakukan dirinya. 

Penghormatan atau "pemanusiaan" diri sendiri lebih diistimewakan dibandingkan penghormatan atau "pemanusiaan" yang dilabuhkan kepada manusia lain.

Diantara kita sering lupa atau sengaja melupakannyabahwa pemanusiaan diri sejatinya hanya bisa diwujudkan dengan cara memanusiakan orang lain. 

Semakin banyak kita memuliakan orang lain, maka semakian tampaklah atmosfir kehidupan yang mendamaikan dan menghadirkan banyak keadaban dimamana-mana.

Ketika di masyarakat masih tampak atmosfir ketidakadaban atau ketidakharmonisan, maka setidaknya ini mengindikasikan, bahwa Gerakan pemanusiaan diri dan orang lain belum berjalan dengan baik.

Itulah yang menjadikan kesenjangan masih terjadi dan tampak sulit teratasi, kecuali manusia itu sudah menjatuhkan opsi persaudaraan sucinya dengan menempatkan sesamanya sebagai pemegang kunci kesempurnaan keimanan. 

Kalau target ini memang sungguh-sungguh ingin direalisasikan, maka keinginan yang diikuti pembuktian yang serasi harus ditunjukkanya.

Jangankan mencintai  orang lain sederajat, seegalitarin, dan semulia dirinya, Tuhan saja kadang-kadang dikalahkan dan "dimarjinalkan"-nya  atau dialinasikan dari konstruksi relasi social, politik, ekonomi, dan budayanya. 

Akhirnya klaster "kekalahan" Tuhan (agama) ini disebabkan tarikan dan desakan kepentingan diri, kroni, dan  amarah. 

Dendam  jauh lebih diberi tempat secara superoristik dan tiranik, sehingga tampilan perilakunya tidak lagi memproduksi penghormatan terhadap sesama manusia, tetapi ragam pembinatangan.

Oleh Abdul Wahid,
Pengajar Universitas Islam Malang dan Penulis Buku

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun