Oleh: Abdul wahid
Pengajar Universitas Islam Malang dan Penulis Buku
Di dunia ini, banyak ilmuwan. Misalnya sahabat Ali bin Abi Thalib, yang dikenal sebagai salah satu sahabat muda dan intelek termasuk sosok yang sangat mencintai ilmu. Tatkala ada seseorang menginformasikan kepadanya tentang satu huruf atau angka yang belum pernah dikenalnya, Ali lantas memberinya gelar sebagai guru. "meskipun seseorang itu hanya mengajarkan satu huruf  kepadaku, maka ia telah menjadi guru dalam hidupku yang tak akan pernah kulupakan", demikian ujar Ali bin Abi Thalib.
Pernyataan yang disampaikan Ali tersebut bukan hanya ditujukan secara moral-edukatif sebagai bentuk penghormatan kepada guru atau penyampai ilmu, tetapi juga kepada ilmunya itu sendiri.
Dalam ranah itu, bisa dipahami, bahwa ilmu tidaklah terukur semata pada siapa yang menyampaikannya, tetapi pada makna keagungan ilmu itu sendiri. Ilmu bisa dikuasai dan ditransformasikan (diajarkan) kepada siapa saja, namun kedudukan ilmu tetaplah yang tertinggi. Mengapa kedudukan ilmu tetap tertinggi?
Ilmu itu akan terus mengalir, berkembang, dan dinamis seiring dengan perkembangan sejarah kehidupan manusia. Apa yang dicapai oleh manusia dalam hidupnya, sebenarnya adalah mencerminkan ilmu yang dikuasainya. Ketika yang bisa dicapai oleh manusia hanyalah kemajuan-kemajuan kecil, maka hal ini menandakan kalau ilmu yang diakses dan "diinvestasikan" dalam hidupnya juga masih sedikit atau belum ada kemajuannya.
Ilmu itu memuliakan kita, maknanya Ilmu akan memberikan warna, mengarahkan kebuntuan, membuka kran kesulitan, menunjukkan jalan terang, dan mengantarkan manusia menemui pencerahan. Masyarakat yang mencintai ilmu sama artinya dengan mencintai perubahan.Â
Dari ilmu, manusia diberi jalan untuk memberantas penyakit kebodohan dan kemunduran, dan dari ilmu pula, apa yang diobsesikan manusia tentang kebermaknaan hidup akan bisa dicapainya.
Masyarakat dan bangsa yang sungguh-sungguh berperang terhadap kebodohan merupakan cermin dari masyarakat dan bangsa yang tak menginginkan dirinya terbelit secara terus menerumus dalam ketidakberdayaan. Kelemahan atau ketidakberdayaannya merupakan gambaran dari suatu masyarakat yang terpuruk dalam penjara kebodohan.
S6igma masih tertinggalnya kita di tengah kompetisi masyarakat dunia adalah indikasi kalau selama ini kita masih terbelit oleh problem krisis atau "kemiskinan" kualitas sumberdaya manusia, Rendahnya kualitas ini ditandai masih lemahnya budaya minat baca, minat meneliti, minat berkarya, dan menjalin kerjasama secara akademis dengan kekuatan strategis.
Krisis minat ilmiah membuat bangsa ini tertinggal dari bangsa-bangsa lain. Jika dari minat saja sudah rendah atau gagal dibangkitkan, bagaimana mungkin suatu bangsa akan berhasil merengkuh cita-cita besarnya.
Dalam suatu kesempatan, Ali berujar "ilmu itu lebih baik dari harta, karena kalau harta, anda akan dibuat sibuk menjaganya, sedangkan ilmu akan menjaga anda. Harta akan habis bisa dinafkahkan, sedangkan ilmu bila disedekahkan akan terus berkembang. Ilmu adalah kuasa, sedangkan harta dikuasai. Penumpuk harta mati, sedangkan ilmuwan tetap hidup sepanjang zaman. Walaupun secara dzahir mereka telah tiada, tetapi pengaruh mereka akan tetap hidup sepanjang zaman".
Apa yang disampaikan cendekiawan generasi awal dalam sejarah Islam tersebut mengajarkan kepada kita, bahwa ilmu itu tergolong kekayaan istimewa, harta mulia, dan investasi fundamental bangsa. Dari ilmu yang dikuasai seseorang atau bangsa, makna kehidupan, keberlanjutan, dan kejayaan bukan hanya akan diraihnya, tetapi juga dipertahankan.
Sebagai refleksi komparatif: setiap orang di Amerika, dituntut untuk menuliskan atau membukukan riwayat hidupnya supaya hidupnya tidak hanya bermakna bagi diri dan keluarganya, tetapi juga bermakna bagi masyarakatnya. Dari karya inilah, masyarakat dan bangsa yang ditinggalkan akan bisa belajar banyak.Â
Tuntutan ini sejatinya mengarahkan setiap elemen bangsa AS untuk berlomba memperkaya diri dengan ilmu, sehingga ketika sudah berpamitan dengan dunia ini, harta utama yang diwariskan untuk anak dan bangsanya adalah  kekayaan ilmu.
Nabi Muhammad SAW mengingatkan, "barangsiapa ingin merengkuh (mencapai kepentingan) dunia, maka dengan ilmu, barangsiapa ingin merengkuh akhirat, maka dengan ilmu, dan barangsiapa yang ingin merengkuh dua-duanya, maka dengan ilmu. Sabda beliau ini menunjukkan, bahwa ilmu merupakan kunci utama kehidupan manusia.Â
Manusia yang kaya ilmu berarti kaya dalam memahami berbagai fenomena kehidupan, karena dari ilmu yang dikuasainya, dirinya akan terdorong untuk menafsirkan, mempergauli, dan mewarnai dunia ini menjadi lebih baik, lebih bermakna, dan lebih agung.Â
Secara historis edukatif, kaum pembelajar di dunia ini bisa menjadikan warisan berupa literatur atau buku-buku dari cendekiawan terdahulu sebagai nafkah tak ternilai, sumber inspirasi dalam mengedukasikan masyarakat dan menghadirkan pencerdasan, serta pembeningan nurani masyarakat di muka bumi
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI