Dalam suatu Hadis, Nabi Muhammad saw memperingatkan "meratanya azab (musibah, bencana) adalah sesuai dengan meratanya kejahatan yang diperbuat manusia". Peringatan ini mempertegas kedudukan pepatah "menabur angin menuai badai". Jika gampang membiarkan atau membebaskan tangannya menabur kekejian baik terhadap sesama manusia maupun makhluk hidup lainnya, maka manusia pastilah menuai dampak destruktifnya.
Manusia sangatlah potensial dihancurkan oleh perbuatannya sendiri. Tuhan hanya memberi jalan atas opsi sesat dan jahatnya. Manusia sudah diberi kemerdekaan untuk menjatuhkan pilihan, mau mengikuti dan memperbudak ambisi-ambisinya di jalur penghancuran sumberdaya alam ataukah mau di jalur pemanfaatan berbasis, meminjam istilah Sirozi (2005) "humanisasi dan spiritualisasi ekologis".
Dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara ini, setiap manusia yang perbuatannya bercorak menabur kebaikan, tentulah aspek-aspek strategis yang berhubungan dengan aktifitasnya akan mendapatkan  keuntungan. Jika itu berkaitan dengan perlakuan jujur dan egaliter dalam menerapkan hukum misalnya, maka perlakuan demikian jelas akan menguntungkan para pencari keadilan. Mereka akan merasa mendapatkan pengayoman atau advokasi  hak-haknya ketika penerima amanat ini berjalan di jalan lurus: kebenaran.
Sebaliknya ketika manusia gagal "mendidik" dirinya dari perbuatan-perbuatan buruk, gampang tergiur melakukan kezaliman, kebiadaban, dan bahkan kebinatangan  dalam kehidupannnya di muka bumi, pastilah berbagai bentuk perbuatan buruk ini akan mendatangkan bencana dalam kehidupannya. Bencana ini merupakan "cost" yang terpaksa harus dibayar atas uang-utang dalam bentuk kejahatan yang sedang atau sudah dilakukan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H