Mohon tunggu...
Abdul Wahid
Abdul Wahid Mohon Tunggu... Dosen - Dosen Fakultas Hukum Universitas Islam Malang

Dosen Fakultas Hukum Universitas Islam Malang dan Penulis sejumlah buku

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Jangan Ikut Klaster "Manusia Hina"

11 Agustus 2021   09:36 Diperbarui: 11 Agustus 2021   09:56 155
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Mengunggulkan dan mengandalkan kekuatan dan kesakralan norma hukum dan politik untuk melawan dan mengalahkan koruptor di negeri ini tidak gampang. Sudah tidak sedikit jurus dikeluarkan untuk memerangi dan bermaksud mengikis koruptor, tetap sang "penjahat berdasi" ini tetap piawai dan bahkan melahirkan banyak genereasi.

Langkah politik negara dalam bentuk pembaruan hukum yang bertemakan pemberantasan korupsi atau berbagai bentuk penyelingkuhan kekausaan sudah berkali-kali dilakukan oleh negara, akan tetapi koruptor seperti tidak pernah kecil nyali dan "krisis" konspirasi untuk mengadali dan menjarah uang negara.

Kalangan pembelajar maupun yang tidak juga mengerti dan atau setidaknya mendengar, bahwa berbagai bentuk lembaga baru pun sudah dibentuk oleh negara untuk menjadi lawan dari koruptor, namun faktanya koruptor  tetap saja menunjukkan supremasinya.

Kondisi paradosal masih menjadi bagian serius dari wajah kita. Dari balik multi ragam institusi, koruptor berjaya menjalankan aksi-aksi penyimpangan kewenangan atau perannya. Kekayaan rakyat yang dipercayakan pada negara supaya dilindungi dengan sebaik-baiknya, ternyata tetap tidak aman, karena terus menerus dijarah atau digerogoti koruptor.

Para penjahat berdasi tidak mengenal kondisi bangsa sedang atau telah mengalami keprihatinan aataukah tidak. Koruptor tak ubahnya produsen dan "distributor" penyakit yang rajin dan arogan merapuhkan sumber-sumber fundamental bangsa. Diantara hegemoni pandemic Covid-19 yang demikian mengerikan, ternyata ulah jahat Sebagian elutes bangsa yang bermental korup jjuga masih jadi "pandemic" tersendiri.

"komunitas pencuri" berklaster elitis itu tidak takut berhadapan dengan hukum, meski norma hukum ini meregulasi sanksi seumur hidup dan hukuman mati. Mereka seperti merasa yakin kalau penyimpangan kekuasaan yang dilakukan dan dilestarikannya, tidak akan pernah terjamah oleh tangan-tangan pemegang otoritas pengimplementasi hukum. Hukum ditangannya tak ubahnya seperti ayat-ayat suci yang tak lagi sakti.

Meski sudah berkali-kali doktrin agama mengajaknya "berhijrah" dari mental korupsi menuju mental konsisten menjaga amanat, namun  mereka rupanya tetap menjatuhkan opsi mengkhianati amanat.

Berbagai jenis atau rpa malapraktik kekuasaan (jabatan) dijadikannya sebagai opsi yang menguntungkan dan menyenangkannya. Ada saja model penyakit baru yang dibuat dan disebarkan para perusak ketahanan keuangan negara ini, mereka sangat tidak ambil pusing tentang kondisi rakyat yang sedang didera keprinan serius ini.

Apa yang pernah diajarkan oleh Nicollo Machiavelli  dalam jargon "het doel heiling de middelen" atau penghalalan segala cara, ternyata masih lebih dominan dan mutlak diterima dibandingkan doktrin Pancasila. Nilai-nilai adiluhung yang dikenalkan dan diregulasi dalam kurikulum pendidikan kewarganegaraan misalnya, hanya tampak dijadikan obyek penataran dan pelatihan, akibat dikalahkan oleh doktrin yang ditanamkan Machiavelli.

Norma agama mestinya menjadi pijakan utama manusia beragama negeri ini, dan bukannya ditempatkan sebagai instrument kepentingan "hina" yang jelas-jelas meruntuhkan citra bangsa sebagai bangsa yang mayoritas  muslim ini. Ada pesan dari Rasulullah SAW, "jika tidak ingin hancur, janganlah menyembah emas, janganlah menyembah dinar, dan janganlah menyembah kemegahan". Pesan ini mengisyaratkan didikan eksoteris (menyentuh ke nilai-nilai keberagamaan), agar manusia dalam hidupnya tak berkiblat pada emas, uang, dan gaya hidup (status sosial, kemegahan, dan kedudukan), melainkan tetap berkiblat pada agama, menyerahkan total jati dirinya kepadaNya.

Manusia diingatkan beliau agar "syahwat" dan ambisi yang diimplementasikan atau disejarahkan tak dibiarkan larut dalam keterjajahan  "madzhab" kapitalistik, gaya hidup dan kedudukan. Dalam hidup ini, manusia jangan sampai memberhalakan kekayaan, menkultuskan kemegahan, dan diperbudak oleh kekuasaan.

Manusia paling hina di muka bumi dan di hadapan Tuhan adalah manusia yang sebenarnya bisa menikmati kecerdasan dan kebeningan moralnya, namun menyerahkan kecerdasan nurani, dan kebeningan moralnya itu ke dalam tiranitas yang dibuatnya sendiri, seperti menyerah diperbudak praktik kleptokrasi kekuasaan dan memainkan kekuasaan sebatas sebagai kendaraan untuk memperkaya diri tanpa kenal titik nadir.

Badai kehancuran sulit dibendung, prahara nasional mustahil dihadang, atau bencana kehidupan berbangsa tak akan gampang diselesaikan tatkala elemen strategis negara yang seharusnya jadi penggali kebenaran (mujtahid), penegak atau pejuang kebenaran (mujahid), dan pembaharu (mujaddid) negeri justru menyukai kecongkakan atau arogansi kriminalisasi yang didoktrinkan Machiavelli.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun