Oleh: Abdul Wahid
Pengajar  Universitas Islam Malang dan penulis buku
Tidak salah jika pancasila menjadi sumber kerukunan dan kesatuan hidxup berbangsa. Karena, Pancasila merupakan "instrumen sakral" yang ampuh sekali untuk mempersatukan bangsa Indonesia. Hal ini sudah semestinya karena Pancasila adalah falsafah hidup dan kepribadian bangsa Indonesia, yang mempunyai nilai-nilai dan norma-norma yang oleh bangsa Indonesia diyakini paling benar, paling adil, paling bijaksana, paling baik, dan paling sesuai (adaptatif) bagi bangsa Indonesia sehingga dapat mempersatukan bangsa Indonesia, Â sehingga membumikannya mesti sangat bermanfaat
"klaster ideologis" tersebut digunakan sebagai pengganti sebutan Pancasila sebagai alat pemersatu bangsa yang pernah disalahgunakan oleh pemimpin pemberontakan G-30 S/PKI D.N. Aidit.Â
Menurutnya, Pancasila sebagai alat pemersatu. sudah kehilangan fungsinya setelah Irian Barat kembali ke pangkuan Republik Indonesia, sehingga dengan demikian Pancasila dapat diganti dengan ideologi lain, yakni komunisme. Bangsa Indonesia menolak pandangan tersebut.Â
Pancasila memang telah terbukti ampuh untuk memelihara persatuan dan kesatuan bangsa, tetapi fungsi dan peranannya tidak sekedar sebagai alat, melainkan sebagai falsafah (pandangan hidup) yang mempersatukan bangsa Indonesia (Satriya, 2007).
Tengok dan pahamilah misalnya dalam Sila ketiga dari falsafah Pancasila, yakni Persatuan Indonesia. Sila ini semula dalam konsepsi Bung Karno dinamakan Kebangsaan Indonesia atau nasionalisme.Â
Sila ini merupakan suatu formulasi yang mencerminkan faham hidup yang dikenal dengan faham individualisme, yaitu suatu faham  atau "madzhab" yang manakala berdiri sendiri tanpa didampingi oleh faham lainnya akan menjadi dasar tiitik tolak lahirnya  kekuatan Liberalisme.
Sila ketiga sejak semula dimaksudkan untuk menjadi pengimbang terhadap sila kedua, di mana Bung Karno menggambarkan dengan ungkapan "internasionalisme tidak dapat hidup subur kalau tidak berakar dari buminya nasionalisme. Nasionalisme tidak dapat hidup subur, kalau tidak hidup dalam taman sarinya Internasionalisme (Mhammad Yamin, 1971). Disinilah alasannya mengapa Ruslan Abdulgani menyatakan bahwa sila-sila tersebut merupakan suatu rumusan sintesa yang serasi dan seimbang (Abdulgani, 1976).
Dalam uraian sila kedua telah dijelaskan bahwa pada intinya sila kedua menggambarkan kesadaran bangsa Indonesia selaku diri pribadi yang berhakekat sifat sebagai makhluk sosial. Beriring dengan sifat tersebut manusia adalah makhluk yang berhakekat sifat sebagai makhluk individu (homo individualicum).Â
Prinsip inilah yang tercermin dalam sila ketiga, Persatuan Indonesia. Kedua kesadaran bangsa Indonesia yang dicerminkan dalam sila kedua dan ketiga ini dalam keadaan dan kedudukan yang serasi, selaras dan seimbang (harmony atau tawazun).
tokoh Fritz Kunkel  psikologi individual dalam teori kepribadiannya merumuskan bahwa pada hakekatnya pada diri setiap manusia terdapat dua dorongan nafsu yang paling utama, yaitu dorongan ke-aku-an (ichhaftigkeit), dan dorongan ke-kita-an atau dorongan (wirhaftigkeit/Sachlichkeit).Â
Kedua dorongan tersebut manakala salah satunya terlalu dominan akan mengakibatkan munculnya penyimpangan-penyimpangan psikologik yang akan mengganggu stabilitas kepribadiannya.
Kaum pembelajar tentulah memahami, bahwa pribadi seseorang yang terlalu didominasi oleh dorongan Ichhaftigkeit atau didorong untuk semata-mata mengabdi pada diri pribadinya sendiri akan melahirkan sikap penahbisan ego, segala sesuatu diukur dari kepentingan dirinya dan segala sesuatu diabdikan untuk dirinya sendiri. Betapapun hal itu mengakibatkan kerugian atau dehumanitas pada  orang lain.
Dalam ranah itu, manusia demikian adalah manusia yang egoistik atau manusia yang individualistik. Ia tidak peduli terhadap lingkungan sekitar, beku perasaannya melihat penderitaan dan kesengsaraan yang disandang oleh orang yang ada di sekitarnya. Sebaliknya manusia yang terlalu dikuasai oleh dorongan ke-kita-an atau Wirhaftigkeit akan melahirkan watak yang terlalu berlebih-lebihan pengorbanannya untuk kepentingan (kesulitan) orang lain, sementara kepentingan pribadinya sendiri terlalaikan atau terabaikan. Sikap seperti ini adalah sikap altruistik, yakni sikap atau perilaku yang menyebabkan dirinya lebur dan luluh ditengah lautan manusia tanpa pribadi.
Konklusinya kedua jenis watak-egoistik dan altruistikini di mata Kunkel merupakan perkembangan atau dinamika  kepribadian yang tidak sehat dan merupakan penyimpangan psikologik. Pribadi manusia yang sehat adalah pribadi yang mampu mengembangkan kedua dorongan tersebut secara seimbang, serasi dan selaras, berada di tengah-tengah antara kedua kutub yang ekstrem seperti di atas.
Kesejatian watak manusia yang menampakkan diri ke permukaan dengan berbagai bentuk perangai yang beraneka ragam seperti yang biasa diketemukan di tengah-tengah pergaulan sehari-hari itu akan dapat dikembalikan kepada dua pola di atas. Dan gejala penampilan watak seperti ini secara kolektif dapat pula diamanti secara nyata dalam kehidupan bersuku, berbangsa dan bernegara.Â
Dalam hal ini kiranya pendapat Steinthal dapat dijadikan dasar alasan bahwa secara realitas terdapat dua bentuk kejiwaan, yaitu jiwa individual dan jiwa kolektif. Selanjutnya terdapat dua bentuk kejiwaan, yaitu jiwa individual dan jiwa kolektif.Â
Selanjutnya ia menyatakan bahwa 'dalam memandang golongan atau psycho kollektif yang sebagai kesatuan harus dibedakan dari jiwa individu masing-masing' (A. Lysen, 1967). Senada dengan ini , Bung Karno pun menyatakan bahwa 'Bangsa dan rakyat adalah satu jiwa. Jangan kiranya seperti kursi-kursi yang dijajarkan. Bangsa atau rakyat mempunyai jiwa sendiri?'
Dengan cara seperti itu, kita akhirnya akan dapat mencapai cita-cita Proklamasi Kemerdekaan Indonesia, yaitu Indonesia yang jaya sentosa, dunia damai penuh kasih, gotong royong, bersatu dalam persaudaraan, dan persaudaraan  dalam persatuanm atau dimanapun kita berada, perbedaan tidak dijadikan alasan melakukan, memproduk, dan menyuburkan pertikaian, perpecahan dan kekerasan, sebaliknya digunakan sebagai modal membun persauadaran, yang tersimpul dalanm prinsip "persaudaraan dalam perbedaan dan bersaudara dalam perbedaan".
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H