Masyarakat akan bisa menikmati hak kedamaian, tidur nyenyak, hak kesehatan, dan keberlanjutan hidupnya di tangan pejabat yang giat memaksimalkan kinerjanya dalam memberdayakan potensi (kekayaan) daerahnya.
Langkah khalifah Umar bin Abdul Aziz, yang dikenal sufis ini, Â barangkali perlu dicontoh saat Umar melarang anak buahnya hendak memboroskan anggaran belanja negara untuk kepentongan pembangunan benteng dengan kalimat "apalah gunanya membangun benteng kota, kalau kebutuhan masyarakat belum dipenuhi. Bentengilah kehidupan masyarakat dengan keadilan (pemenuhan hak-haknya)"
Belajar dari peringatan tersebut menunjukkan, bahwa menggencarkan pembangunan fisik perkotaan atau memboroskan anggaran demi mendisain gedung-gedung pemerintahan supaya wajahnya menjadi lebih menarik dalam pandangan mata, apalagi sekedar untuk dijadikan investasi kepentingan politik atau menaikkan gengsi elit pejabatnya, jelaslah bukan sebagai model pembangunan dan perilaku elit yang seirama atau sebahasa dengan kepentingan riil masyarakat yang sedang hidup susah, apalagi di saat masyarakat terpuruk akibat kenaikan harga BBM.
 Masyarakat  tidak akan selalu, sering, terus menerus, atau secara rutin (sistemik dan terstruktur) menjadi korban dan  tumbal, kalau saja pemerintah menunjukkan kemauan dan kemampuannya  dalam melakukan iqra terhadap derita empirik masyarakat.Â
Selama pemerintah belum juga melakukan iqra, niscaya sulit problem riil masyarakat berhasil diatasinya, termasuk mengakomodsi macam derita (kesulitan) orang miskin.Â
Memberi solusi tepat sararan kepada masyarakat yang terhimpit masalah penderitaan dan ketidakberdayaan haruslah diawali dengan pembacaan obyek secara adil, egalitarian, dan berkeadaban.
Dari pembacaan obyek sosial tersebut, kemudian idealnya dilanjutkan dengan menyusun rencana aksi dan mewujudkan gerakan riil yang berbasiskan pemihakan kepentingan masyarakat. Â
Gerakan riil demikian masih belum membumi di lingkungan aparat, pasalnya mereka ini masih lebih menyukai pola-pola formalisasi kekuasaan, semisal kalaupun terjun ke masyarakat, jalur protokoler lebih dikedepankan.
Langkah tersebut hanya bisa dilakukan oleh elemen pejabat yang ambisi atau "perutnya" benar-benar tidak kekenyangan berbagai bentuk gaya hidup dan target-target bercorak pengabsahan status sosial-politik atau perjalanan karir strukturalnya tidak diabdikan demi  menghamba pada pola-pola permisifisme seperti memiskinkan amanat membebaskan orang miskin atau dimenangkannya "kedurjanaan" dalam mengelola komunitas yang kehilangan keberdayaan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H