Mohon tunggu...
Abdul Wahid
Abdul Wahid Mohon Tunggu... Dosen - Dosen Fakultas Hukum Universitas Islam Malang

Dosen Fakultas Hukum Universitas Islam Malang dan Penulis sejumlah buku

Selanjutnya

Tutup

Politik

Teroris dan Empu Gandring

7 Mei 2021   05:21 Diperbarui: 7 Mei 2021   05:25 168
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber : foto penulis

Oleh: Abdul Wahid

Pengajar  Program Pascasarjana Unisma, PP AP-HTN/HAN, dan penulis buku

Di negeri ini, rakyat sering memperoleh ketenagan atau kedamaian bersifat temporer, pasalnya baru sedikit bisa tidur nyenyak, makan lumayan santai, menunaikan kegiatan agak rutin, dan saling membangun komunitas secara harmonis, tiba-tiba rakyat dibuat ternganga oleh gerakan-gerakan eksplosif radikalistik yang mengakibatkan suasana ideal kembali jadi kontra produktif. Rakyat dibuat dan dibalut dalam nestapa kemanusiaan.

Itulah profil republiknya para "produsen kebinatangan", yang kaumnya menebarkan ketakutan, gampang menabur kekejian, dan sangat gampang merelakan darah tumpah dimana-mana, tak peduli kalau yang jadi korban meninggalkan anak, isteri, orang tua atau pihak-pihak yang menjadi tanggungannya. "Satu nyawa melayang sia-sia ibarat membunuh manusia sejagad", demikian kata Nurcholis Majid.

Bagaimana bisa satu nyawa dirampas sama dengan membunuh manusia sejagad, sebab satu nyawa merupakan embrio amanat dan pencerah kehidupan sejarah kehidupan manusia secara universal. Tatkala ada satu orang meninggal, padahal manusia yang terbunuh ini punya peran makro, sosok populis, humanis, dan sudah hadir sebagai "arsitek berkeringat harum" di masyarakat dan negaranya, maka itu artinya masyarakat dan negara tersebut menderita kerugian besar.

Republik ini akhirnya kekurangan bibit-bibit pelaku sejarah atau kandidat pembaharu  akibat dikorbankan oleh kekuatan kebiadaban yang dipanglimakan dan disuperioritaskan.  Bangsa ini tak ubahnya  menjadi sebuah raga besar tanpa nyawa besar yang menyangga atau menghidupinya. Hanya kelihatan kokoh,  tapi sebenarnya ringkih dan keropos akibat banyaknya tangan-tangan jahat yang berkeliaran terus mengorbankan nyawa manusia.

Berkali-kali negeri ini menjadi ajang pertumpahan darah dan aksi kekerasan semacam teroris atau gerakan radikalistik yang tentu saja sebagai  ongkos besarnya adalah rakyat yang tak berdosa. Tak diduga dan kapan waktunya, serta sulit diestimasi, tiba-tiba kejahatan dengan tajuk kekerasan mencuat, memasuki 'rumah kita", dan memporak-porandakan kedamaian.  Rakyat  dibuat ternganga menyaksikan kebiadaban yang mengoyak persendian konstruksi sosial-budayanya.

radikalis yang sedang dibalut "birahi"  melanjutkan episode apa yang dikenalkan Tommas Hobbes dengan 'homo homini lupus" (manusia itu serigala bagi manusia lain, siapa yang bisa lebih dulu jadi serigala dan mampu menerkam  atau mengorbankan yang   lain, maka ia layak untuk bertahan hidup).

Mengapa kebiadaban demikian itu  masih menjadi episode bersejarah, yang diniscayakan berkelanjutan di negeri ini?  Barangkali kesalahan sejarah yang ikut membentuk, mendisain dan mengarsiteki negeri ini patut dilibatkan, khususnya kalangan pelakunya yang telah meninggalkan "dosa-dosa"  yang  sezamannya dijadikan sebagai "nafas pergerakan" atau nyawa skenario   kaum pendahulu.

 Indonesia memang pernah dibangun secara historis  yang sarat warna dan "tinta merah" kebiadaban, pasalnya konstruksi social, politik, geografis, dan budayanya  di awal negeri ini dibangun  secara slih berganti dan dari episode ke episode kekuasaan telah gampang dibingkai dengan banjir darah, konflik bermodus radikalistik, dan dendam membara yang sepertinya tak kenal titik nadir yang ujung-ujungnya membenarkan pilihan: darah halal tumpah untuk menyukseskan tujuan pribadi, golongan, kekuasaan, dan target-target eksklusifnya. (Sirozi, 2005)

Salah satu episode bersejarah yang dianggap sebagai embrio kekerasan di negeri ini adalah "karma" Empu Gandring, yang pernah membuat  keris, yang  karena kekuatan  keris yang disalahgunakan, akhirnya  sang empu gandring mengeluarkan kutuk kalau keris itu akan terus memakan tumbal, mengorbankan  generasi  dalam jalur kekuasaan,  dan butuh dilumuri darah hingga tak kenal kering.

Sang Empu Gandring meminta   tumbal, sang legendaris ini menuntut banjir darah akibat dinodai dan dirampas nyawanya oleh Ken arok. Anak turun Ken Arok dan Anusapati terus bertikai yang ujung-ujungnya nyawa melayang di tangan keris bikinan Empu Gandring. Silih berganti  aksi kekacauan, radikalisme dan kudeta mewarnai anak bangsa, generasi priyayi, dan "kelompok darah biru" akibat telah  salah memilih jalan dengan cara menumbalkan nyawa manusia.

Mulai dari  Tumapel-Kediri hingga berdiri dan berkembangya Majapahit, Keris Empu Gandring terus-menerus meminta tebusan darah dari trah penguasa (raja) yang terbunuh.  Salahkah Empu Gandringnya? Tidak, karena ia membuat alat untuk mempertahankan dan menjaga diri dari kemungkinan tindakan jahat dan pelanggaran HAM, namun akibat keris tersebut (symbol senjata dan kekuasaan) yang disalahgunakan, akibatnya  banyak nyawa  yang ikut dipertaruhkan. Dan inilah bentuk kekuasaan penuh intrik yang salah satunya menggunakan kesaktian keris Empu Gandring sebagai alat memediasinya.

Barangkali itulah deskripsi lain dari "mengorbankan satu nyawa sama dengan mengorbankan manusia sejagad", bahwa nyawa manusia yang terampas telah menjadi dosa warisan  yang menyulut lahirnya dendam, kedengkian, dan konflik berkepanjangan, yang kemudian  mengakibatkan  banyak nyawa dikorbankan. Dari satu nyawa yang terampas, muncullah dendam komulatif dan "kompetitif" yang bisa jadi diorganisisir dan dididik untuk ditingkatkan ke tahap pelampiasan dan pengorbanan.

Pelampiasan dan pengorbanan ditempuh antara lain lewat  slogan "bellum omnium contra omnes" (pertikaian antar kelompok),  kelompok satu melawan kelompok lain untuk merepresentasi dan memediasi satu atau dua nyawa yang tercerabut. Tentu saja dengan terlibatnya kekuatan kelompok dalam pelampiasan dendam ini, bisa  ribuan dan bahkan puluhan ribu nyawa manusia menjadi korbannya

Jika kasus sekarang dianalisis dengan kasus Empu Gandring, maka negeri ini tak ubahnya sebagai potret negeri kaum leluhur yang pernah diwarnai oleh dendam yang tak berkesudahan yang menoleransi ujaran kebencian dan kekerasan fisik. Dendam dilampiaskan  bisa dalam wujud penghambaan pada ideologi eksklusif, atau  karena memang diantara kita sudah terbiasa  menggunakan cara-cara seperti pendahulu (Ken Arok misalnya) dalam mewujudkan "birahi" animalistik.

Patut diniscayakan kalau kekerasan sampai mengorbankan nyawa itu merupakan deskripsi faktual  dehuministik dari diri kita sendiri yang memang gampang melakukan dan menyemaikan pelanggaran atas hak-hak asasi manusia (HAM) lewat "bedil", pentungan, dan senjata tajam. Ibaratnya, kita gampang menggunakan ruh Empu Gandring untuk menabur dendam dan terjagalnya "manusia sejagad". Kapankah hal ini bisa diakhiri?  Tergantung kita sebagai pelaku sejarahnya, mau kita bawa kemana Indonesia  ini?

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun