Mohon tunggu...
Abdul Wahid
Abdul Wahid Mohon Tunggu... Dosen - Dosen Fakultas Hukum Universitas Islam Malang

Dosen Fakultas Hukum Universitas Islam Malang dan Penulis sejumlah buku

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

"Berselancar" Sampai Mati

6 Februari 2021   17:57 Diperbarui: 6 Februari 2021   18:03 139
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Obsesi menjadi manusia sukses pada akhirnya memasuki ranah "membara" atau menyala-nyala untuk membuktikan, bahwa dirinya tidak perlu gagal, atau kalaupun  gagal tidak bolehlah sampai dua tiga kali, cukup sekali saja, dan selebihnya adalah kesuksesan yang diraih. Persoalannya, apakah setiap impian sukses akan berakhir dalam kenyataan?

Realitas menunjukkan kondisi yang bisa jadi berbeda. Ada manusia yang bisa gembira karena impiannya  sesuai dengan kenyataan, sementara tidak sedikit pula manusia yang  dihadapkan dengan kegagalan atau kesuksesan belum menyertainya. Kenyataan menjadi pahit dan getir dirasakannya akibat kegagalan seolah menjadi kawan akrab yang sulit berpisah dengannya.

Imam Kb dalam bukunya "Membangun Pencerahan Hati" (2007) menyebutkan, bahwa  begitu kuatnya pengaruh kegagalan menjadi penyakit dalam kehidupan seseorang, tidak sulit kita temukan seseorang yang gagal yang menjatuhkan pilihan tragis: mengakhiri hidup di tiang gantungan, menegak racun, meminum obat overdosis, atau menabrakkan dirinya ke kereta yang sedang melaju kencang.

Ada pula yang mencoba mengungkap tabir kesuksesan yang diperoleh orang lain untuk digunakan sebagai spirit moral dan psikologisnya. Rahasia atau jurus kesuksesan yang dimiliki orang lain terus berusaha dikuaknya  guna dijadikan sebagai obyek pembelajarannya dengan harapan bisa mengikuti jejak menjadi manusia sukses.

Jawaban dari Disney, bahwa "hanya dengan bekerja keras, anda akan sukses", adalah jurus ampuh yang juga diajarkan oleh agama (Islam), bahwa dalam agama ini, setiap orang wajib menjadi pekerja keras seperti mbah Surip. Dari mentalitas bekerja kerasnya ini, terbukti banyak kemanfaatan yang bisa diperolehnya. Tanpa mentalitas demikian, mustahil kesuksesan bisa diraihnya.

Nabi Muhammad SAW adalah tipe manusia yang rajin bekerja keras atau tidak mendiamkan dirinya dalam apatisme. Tipe ini kemudian dijadikan sebagai sumber ketaladanan moral universal, bahwa setiap bangsa yang berobsesi menuai kemakmuran dan kejayaan, maka bangsa ini harus menunjukkan kepada setiap elemennya untuk menjadi pekerja-pekerja keras atau bermentalitas tidak gampang menyerah.

Ketika Nabi Muhammad SAW berhijrah, tidak sedikit penduduk Madinah yang merasa khawatir dengan kemungkinan sulitnya memberikan penghargaan atau penghidupan layak melalui pekerjaan kepada sahabat-sahabat muhajirin, akan tetapi beban psikologis ini bisa secepatnya diatasi ketika kaum yang sedang berhijrah atau berada dalam kesulitan ekonomi ini,  mampu menunjukkan semangatnya sebagai pekerja keras.

"Saudaraku, kalian tidak usah kuatir  dengan keadaanku akibat meninggalkan Makkah demi jalan Allah, cukuplah kalian menunjukkan kepadaku keberadaan pasar di Madinah, maka aku akan bisa hidup dan berkembang karenannya", demikian pernyataan salah seorang sahabat Muhajirin. Dan memang fakta historisnya menunjukkan, bahwa sahabat-sahabat ini mampu menjadi pekerja keras, atau bisa mendapatkan sumber pendapatan yang mencukupi dari pasar. Etos kerjanya telah mampu membedah era kompilasi penyakit menjadi era keberdayaan dan kesejahteraan.

Berkat kerja keras yang dididikkan oleh Nabi kepada sahabat-sahabatnya itu, akhirnya kaum pendatang dari Makkah tidak hidup menjadi beban atau parasit sosial-ekonomi di Madinah, melainkan sebagai pejuang, pembuka zona kerja atau pembangun persaingan pasar yang sehat, terbuka, jujur, dan memanusiakannya.

Kasus Nabi dan  Sahabat Muhajirin tersebut memberikan pelajaran berharga, bahwa hanya dengan bekerja keras, sekeras apapun tantangan yang dihadapi, tidaklah sulit untuk dituntaskan. Kekuatan mentalitas kerja masihlah lebih berpengaruh dalam membongkar penyakit dibandingkan mentalitas lemah kerja, apalagi mentalitas parasit sosial. Mentalitas parasit hanya akan semakin memperbanyak penyakit kerja dan duri dalam mengayuh "selancar" di bumi ini.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun