Mohon tunggu...
Abdul Wahid
Abdul Wahid Mohon Tunggu... Dosen - Dosen Fakultas Hukum Universitas Islam Malang

Dosen Fakultas Hukum Universitas Islam Malang dan Penulis sejumlah buku

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Kalahkan Teori Pembelajaran Kriminalitas

30 November 2020   06:46 Diperbarui: 30 November 2020   07:23 158
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Dewan terperangkap membangun gaya hidup yang bercorak borjuisme, yang mengotak atau memproduk stratifikasi sosial elit tersendiri, yang tentu saja mengakibatkan terjadinya polarisasi dengan konstituennya dan prinsip tanggungajwab publik. 

Lela El (2005) menyebut, bahwa keterjebakan dewan dalam perilaku bercorak malversasi norma publik lebih dominan disebabkan gaya hidup selebriti serba instan yang dibangunnya. Gaya hidup demikian membutuhkan "cost" yang tidak murah, yang mempertaruhkan anggaran atau pos penyangga publik. Malversasi norma hanya akan dianggap sebagai pelanggaran ringan dan bukan modus pembusukan nilai (values decay), karena besarnya daya rangsangan keuntungan yang diarihnya.

Hal itu lebih tampak pada gaya hidup elitis yang  berlatar belakang ekonomi pas-pasan, yang perubahannya radikal. Mereka yang berasal dari golongan ini seperti segerombolan orang yang baru menikmati hidup di atmosfir revolusi kebudayaan, yang di dalam dirinya bergolak keinginan untuk selalu tampil beda, mengemas dan unjuk diri   sebagai komponen the rulling class,  dan mempola  konstruksi relasi keluarfa dan sosialnya dengan serba eksklusif.

Mau makan misalnya, mereka kesulitan menentukan tempat, mau belanja harus mencari yang serba luar negeri, mobil harus sering gonta-ganti yang terbaru, perabotan rumah cari yang di tetangganya tidak punya, adalah beberapa sampel potret borjuisme dewan, yang "cost"-nya pasti mahal. Gaya hidup demikian jelas berotal belakang dengan aspirasi publik, apalagi jika disandingkan dengan "wong alit' yang mau makan saja serba kurang gizi (malnutrisi).

Gaya hidup borjuisme itulah yang potensial membuka kran selebar-lebarnya bagi dewan untuk mengamalkan teori pembelajaran yang diberikan Sutherland, bahwa setiap penyimpangan norma hukum atau penyalahgunaan kekuasaan itu  produk pembelajaran. Elitis nakal akan terus mempelajari celah-celah yang bisa digunakan untuk mengisi, mengumpulkan, dan memenuhi  pundi-pundi kekayaan seiring dengan besarnya magnet gaya hidup borjuisme yang menuntut dan menghegemoninya.

Dalam teori itu, tidak ada kejahatan di level elit yang tidak merupakan produk pembelajaran. Semakin pintar dan cerdas segmen elit mempelajari peluang di lingkaran strukturalnya, maka akan semakin banyak yang bisa dilahapnya demi memenuhi keserakahan yang tidak kenal titik nadir. Mereka yang jadi pembelajarnya akan terus berlomba untuk  gali lobang dan memanfaatkan lobang yang tersedia untuk memakmurkan diri, kroni, dan kerabatnya.

tayang di timesindonesia.co.id.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun