Mohon tunggu...
Abdul Wahid
Abdul Wahid Mohon Tunggu... Dosen - Dosen Fakultas Hukum Universitas Islam Malang

Dosen Fakultas Hukum Universitas Islam Malang dan Penulis sejumlah buku

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Kepahlawanan Liu Xiaobo

10 November 2020   07:00 Diperbarui: 10 November 2020   07:06 142
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Oleh: Abdul Wahid

Tidak jarang di dunia ini, jadi pahlawan itu menuai perdebatan serius. Begitu pula tidak jarang pemberian nobel perdamaian mengundang sikap kritik dari masyarakat internasional. 

Kita pernah diberi pelajaran, bahwa  pemberian hadiah Nobel Perdamaian kepada aktivis politik Tiongkok Liu Xiaobo menuai kontroversi, khususnya di dalam negerinya sendiri. 

Oleh komisi penilai Nobel di Norwegia, dia dianggap sebagai pahlawan demokrasi. Namun, di pihak lain, Pemerintah Tiongkok justru memberinya label pembangkang, bukan pahlawan.

Liu Xiaobo dikenal sebagai seorang mantan aktivis politik, pengarang, profesor universitas, dan seorang yang tidak puas dengan Partai Komunis Tiongkok. Di ranah masyarakat internasional, dia dikenal memimpin perlawanan kepada Tiongkok dan mendapatkan sejumlah penghargaan.

Di internal warga Tiongkok, hanya sedikit  warga yang pernah mendengar nama Liu Xiaobo. Liu berkali-kali dipenjara dan mendapatkan pengawasan dari Pemerintah Tiongkok. 

Aksi Liu yang menonjol adalah ketika penindasan berdarah para demonstran di Lapangan Tiananmen Beijing. Dia kembali ke Beijing, setelah pergi ke AS untuk bergabung dalam demonstrasi.

Larangan yang gigih ditentangnya adalah "larangan berbicara".  Misalnya dia berbicara lantang, meski sudah dilarang mengajar dan berbicara tentang sistem politik monologis partai Tiongkok.

Liu tak jera dengan segala hukuman dan tudingan. Liu terus berdiskusi tentang persoalan-persoalan yang tabu di Tiongkok, diantaranya mengkritik sikap pemerintahan Tiongkok kepada warga Tibet.

Perlawanannya itu akhirnya menjadi perhatian negara-negara di luar Tiongkok yang sedang bergiat menyuarakan hak asasi manusia di negara komunis tersebut. 

Negara-negara ini berbicara keras untuk membela Liu, seperti dilontarkan Departemen Luar Negeri AS "Kami menyerukan kepada Pemerintah Tiongkok untuk melepaskan (Liu Xiaobo) segera dan menghormati hak-hak semua warga Tiongkok untuk mengekspresikan pandangan politik mereka secara damai,"

Liu saat itu masih menjalani hukuman 11 tahun penjara atas tuduhan subversi terhadap kekuasaan negara. Hukuman itu diberikan setelah dia ikut menulis manifesto bernama Piagam 08 yang berisi desakan perubahan politik di Tiongkok. 

Piagam 08 dideklarasikan Bulan Desember 2 tahun lalu. Dokumen itu disebut sebagai konstitusi baru di Tiongkok yang berisi pengadilan yang independen dan kebebasan berekspresi. 

Para pendukung Piagam 08, yakni sekitar 300 orang terdiri dari akademisi, seniman, pengacara, dan aktivis menginginkan debat penuh tentang masa depan pembangunan politik Tiongkok.

Logis jika Liu mendapatkan penghargaan atas "pembangkangan" yang dilakukannya itu, pasalnya apa yang diperbuatnya merupakan wujud panggilan sakral dirinya sebagai warga negara, yang tidak menginginkan kalau negaranya tetap dalam hegemoni rezim otoritarian. Liu tidak ingin diri dan masyarakat Tiongkok terus menerus menjalani kehidupan tanpa kebebasan.

Dari Liu, terdapat pelajaran berharga, bahwa dalam suatu negara menjadi pembangkang memang bisa menjadi orang terbuang atau dimarjinalkan dari rezim, akan tetapi ketika pembangkangan ini dijadikan sebagai pilihan atas nama hak asasi manusia (HAM) atau hak kebebasan menyatakan pendapat, hak berbeda dalam memproduk ide atau mengekspresikan pikiran, maka seseorang ini akan mendapatkan pengakuan publik sebagai manusia yang bermakna, bukan sebagai pecundang.

Di negeri ini, berbagai gerakan yang bersifat pembangkangan sudah sering ditunjukkan oleh aktifis peduli atau pejuang hak asasi manusia, demokrasi, dan keadilan. Ada yang semula bersifat individual dan privasi seperti yang dilakukan Prita, namun lambat laun, muncul dukungan publik. 

Dukungan ini dapat terbaca dalam kasus gerakan koin untuk Prita.  Berkat perlawanan yang ditunjukkan Prita dan besarnya dukungan publik, akhirnya dirinya berhasil memenangkan kasus perdata yang digugatkan kepadanya, di samping kasus pidana yang sudah lama menjeratnya.

Dalam kasus tersebut, Prita dan "Prita-prita" lainnya di negeri ini, yang berani menyampaikan hak kebebasan berpendapat melalui tulisan (seperti membongkar anomali melalui email) atau menulis buku seperti Gurita Cikeas (Goerge Aditjondro), yang sebenarnya juga layak dikategorikan sebagai pembangkang atau pendobrak, yang tentu saja senyawa dengan yang dilakukan oleh Liu.

Apa yang dilakukan oleh Prita, George Aditjondro, Minah, dan komunitas seperjuangannya memang harus diikuti oleh generasi lainnya, seperti yang dilakukan oleh Liu. Tanpa ada dukungan dari generasi-generasi lainnya, rezim yang "tersesat" merasa benar sendiri (truth claim) tetap akan superior dan otoriter.

Seperti diingatkan oleh Em. Said Gunawan (2009), bahwa generasi pemberani harus lahir secara terus menerus guna mengisi kemungkinan lumpuhnya atau tidak cerdasnya para pendahulu yang sudah terjebak dalam romantisme politik, jabatan, dan kapitalisme. 

Tanpa ada generasi militan yang lahir atau kekuatan pembedah kultur busuk yang mencengkeram negara, maka tidak perlu ada lagi mimpi terbentuknya negara yang kuat dengan parameter masyarakat sejahtera dan demokratis.

Apa yang disampaikan itu menunjukkan, bahwa generasi seperti Liu di negeri ini tetap dibutuhkan. Generasi berjiwa militan, yang tidak takut mengambil opsi paradoksal dengan garis kebijakan sang rezim, atau generasi yang bernyali besar meski menghadapi ancaman senjata dan kemiskinan, merupakan profil generasi yang layak diharapkan mampu menghadirkan perubahan besar. 

Perubahan besar nyaris tidak pernah dilakukan atau disejarahkan oleh pendahulu yang "kenyang" penyakit, melainkan oleh anak-anak muda yang lapar perubahan.

Kekuatan yang mengawal negeri yang di beberapa sisi masih ada ragam borok ini, tentu saja layak dipercayakan pada kader-kader muda berjiwa Liu, seperti yang pernah disampaikan Soekarno "berikan aku sepuluh pemuda, maka akan kuubah dunia (Indonesia)". 

Dari kekuatan muda yang punya nyali besar, akan diharapkan terbentuk sejarah besar, terutama dalam membongkar praktik neo-oligarkisme. Mau siapa lagi yang diberi harapan besar demikian kalau tidak elemen muda yang berani mendaulatkan dirinya jadi "pembangkang", yang bernyali menghadapi resiko dialinasikan dari pesona kekuasaan atau magnet politik yang menawarkan "manisnya" madu jabatan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun