Ada firman Allah berbunyi: "sesungguhnya Allah tidak akan merubah nasib suatu bangsa (kaum), sehingga bangsa itu merubah nasibnya sendiri" (QS, 13: 11). Ayat ini mengajarkan banyak hal tentang penyikapan terhadap nasib suatu bangsa, yang salah satu penentu "takdirnya" di tangan manusia.Â
Barnagkali ini pulalah yang dipahami pakar kenamaan Baqir Al-Sadr, yang disebutnya bahwa  manusia adalah pelaku yang menciptakan sejarah. Gerak sejarah adalah gerak menuju atau tujuan.Â
Tujuan tersebut berada di hadapan manusia, berada "di masa depan". Sedangkan masa depan yang bertujuan harus tergambar dalam benak manusia. Dengan demikian, benak manusia merupakan langkah pertama dari gerak sejarah, atau dengan kata lain, "dari terjadinya perubahan"
Firman Tuhan itu sebagai pemberian kewenangan istimewa pada manusia kalau dalam hidup ini, penentu "takdir" kehidupannya, mau warna atau disainnya seperti apa adalah diserahkan padanya.Â
Ketika di tengah kehidupan bermasyarakat  dan berbangsa ini banyak kondisi buruk atau menghilangkan sebagian kebahagiaan dan kesenangannya, maka ini mengisyaratkan, bahwa perannya sebagai pendisain kehidupan sedang dipertaruhkan.
Jika atas kondisi yang kurang membahagiakan seperti mengurangi sebagian kesejahteraan ekonomi dan psikologisnya itu ada berjumlah orang yang "meratapinya" secara berlebihan, maka ini mengisyaratkan cerminan orang-orang yang sedang stress dan putus asa.
Padahal sudah jelas Allah SWT tidak ak menyukai orang-orang yang terlalu larut dalam meratapi, apalagi sampai "mengeksplosi" penderitaab psikologis dan fisik akibat menghadapi miltiragam tantangan yang mengujinya itu.
Allah menginginkan makhluk utama yang mendapatkan amanat sebagai pemimpin di muka bumi (khalifah fil-arld) Â ini tidak bergeming sikap dan nalar cerdasnya untuk membaca dan menempatkan dirinya di setiap tahapan ujian yang diberikanNya.
Kekuatan dirinya sebagai penentu "takdir" sejarah merupakan tuntutan pembuktian diri, bahwa Tuhan tidak sia-sia menghadirkan atau mengeksistensikan dirinya sebagai penguasa atas kehidupan di bumi ini.
Manusia yang tak bergeming itu tandanya pribadinya kuat meski diuji olehNya. Kekuatan inilah yang dapat menentukan warna sejarah peradaban di dunia ini. Setiap perbuatan yang dilakukannya idealitasnya tak menyurutkan langkahnya untuk berkreasi demi pembangunan negeri, meski berbagai gelombang "badai" mengeksaminasinya.
Tidak akan mungkin perjalanan hidup ini, manusia mutlak bisa menikmati kebahagiaan atau kesejahteraannya. Diantara ini, mestilah manusia akan menemukan (dihadapkan) dengan kondisi tertentu yang menyulitkan dan barangkali membuatnya seperti dijauhi kebahagiaan hidup.
Atas kondisi itu, mestinya tidak ada manusia yang menyerah. Dalam setiap detak nafas manusia idealitasnya selalu menuntunnya untuk jadi pegiat atau "produsen" Â kebajikan di tengah masyarakat, yang kadar kegiatan kebajikannya ini terus memberikan manfaat terhadap sesama manusia dan makhluk hidup lainnya di muka bumi, dan bukannya membawanya dalma kesibukan dalam meratap atau menihilitaskan kekutannya yang identic sebagai sosok makhluk yang tidak berguna di muka bumi ini.
Kalau saat ini manusia Indonesia sedang "diberiNya" Â pandemi Covid-19 dan beberapa banjir bandang di sejumlah daerah, yang nota bene sedang menguji dirinya itu, seharusnya justru memicu dan memacu semangatnya sebagai "sang pemegang takdir sejarah" untuk berbuat, menggali, dan mengembangkan segenap potensi diri atau kompetensinya.
Jika manusia yang sedang menghadapi kondisi ini justru bersemangat untuk menjalankan aktifitas ini, maka perubahan yang diidealisasikan seperti kedamaian, kesejahteraan, pembaruan, pencerahan atau hidup dalam atmosfir normalitas bisa diraih dan dinikmatinya.
Itu artinya ideologi pembaruan yang bearada di tangannya (manusia) tetap dijadikannya sebagai kekuatan moral-spiritual yang berkobar-kobar untuk menghadapi atau menjawab ragam pergolakan dunia, yang sebagian diantaranya terkadang memang menantang kemampuan atau ketangguhannya.
Deepak Copra dalam Freeman Potential Movement menuturkan "kepada siapa saja yang masih menginginkan kedamaian, kejayaan, dan kesejahteraan di republik ini", kita katakana "your attitudes create the world, atau "sikap mental andalah yang akan mengubah dunia".
Pandangan Copra itu identik sebagai ajakan atau tantangan pada diri manusia, bahwa tidak akan pernah ada bangsa di dunia manapun yang bisa keluar dari kesulitan yang sedang menghimpinta, jika dirinya sendiri tidak berusaha sungguh-sungguh untuk mengubah nasibnya.Â
Kalau hanya sibuk mempermainkan hidupnya, maka yang akan diperoleh mestilah atmosfir yang tidak ubahnya panggung dagelan dari melodrama atau bahkan elegi yang dibuat sebagai cermin "karyanya" sendiri.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H