Oleh: Abdul Wahid
Pengajar Fak hukum Universitas Islam Malang
dan penulis buku Hukum dan agama
Ada banyak pertanyaan berkaitan dengan korupsi, minimal yang terjadi di Indonesia, apakah mungkin sejarah peradilan di Indonesia nanti bisa memecahkan rekor dalam bentuk menghukum mati pelaku korupsi bantuan kemanusiaan?Â
Tentulah kita masih ragu-ragu sanksi hukum dengan ancaman maksimal hukuman mati ini  bisa diwujudkan, mengingat selama ini jagad hukum di negeri ini lebih sering gagal menjaring aktor-aktor kejahatan berdasi  (white colar crime) dengan hukuman maksimal.  Penjahat berdasi ini masih diberi "angin segar" oleh dunia hukum untuk berbuat liberal dalam melakukan aksi-aksi kleptomanianya.
Ini pertanyaan sampel saat pasca Tsunami Aceh, memang siapa yang tidak tergiur berlaku atau bernafsu "ingin mengambil Sebagian" jika dihadapkan dengan adanya uang bantuan dari negara-negara sahabat yang mencapai sedikitnya 40Trilyun rupiah? Â
Siapa yang tak hilang nurani bersihnya ketika menyaksikan tayangan di media elektronik yang menyiarkan miliaran rupiah diterima rakyat Aceh?. Siapa yang tak ingin berlomba mengedarkan Kotak Dana Kemanusiaan melihat empati dan simpati masyarakat dalam beramal demikian besar?
Sangat beralasan kalau sumbangan dalam bentuk uang dan lain sebagainya terhadap bencana nasional di Aceh saat itu menimbulkan kekhawatiran banyak pihak atau memunculkan pertanyaan "jangan-jangan sumbangannya tidak sampai ke alamat yang berhak menerimanya, atau jangan-jangan sumbangannya disalahgunakan untuk kepentingan sendiri, golongan, dan lembaga-lembaga yang tidak jelas, atau jangan-jangan ada yang mengail di air keruh, berburu keuntungan di saat kondisi rakyat sedang buntung".
Ketakutan semacam itu dilatarbelakangi oleh pengalaman buruk selama ini yang menunjukkan banyaknya perbuatan amoral dan ilegal seperti kleptomania yang dilakukan oleh komunitas elit bangsa, khususnya pejabat yang diberi amanat mendistribusikan, yang tergiur pada praktik penyulapan sumbangan bencana alam. Bantuan benana alam sebatas diperlakukan sebagai obyek untuk memenuhi atau memuaskan keserakahan yang dipanglimakannya.
Idealitasnya, berbagai bentuk sumbangan yang harusnya diterima dan dimanfaatkan rakyat manapun haruslah selamat kepada yang berhak menerimanya atau tidak sampai salah alamat.Â
Jika sumbangan ini sampai salah alamat atau disalah-alamatkan oleh aparat misalnya, maka ini namanya praktik neo-dehumanisme, karena apa yang dilakukan sama halnya dengan praktik pemangsaan kualitas hak hidup (right for life) sesama manusia yang sudah dibelit derita berlapis-lapis.Â
Mereka halalkan praktik kebiadaban secara sistemik, menggunakan  jabatan sebagai tameng dan pembelaan harkat kemanusiaan  sebagai dalil pembenarnya.
Ada kebiasaan yang sulit didekonstruksi, bahwa jika kesempatan (menunjukkan keserakahan misalnya) itu tidak terbuka, dicarilah lobang-lobang yang bisa digunakannya untuk memuaskan naluri kleptomanianya.. para penjahat ini  dengan lincah bisa membuat gorong-gorong yang digunakan untuk memuluskan lakon korupsinya.
Perbuatan tidak bermoral dan bertentangan dengan hukum tersebut dilakukan dengan cara menggelapkan, menkorup atau mengalihkan kepada program-program lainnya yang tidak relevan yang jelas-jelas bertentangan dengan misi kemanusiaan dari penyumbangnya.
Kita sudah mendapatkan  pelajaran banyak dari para koruptor yang sangat pandai me-mark-up apa saja, termasuk dana untuk orang-orang  yang sudah berstatus mustadh'afin, atau suatu komunitas yang oleh pakar komunikasi Jalaluddin Rahmat  disebut "orang-orang yang dibikin teraniaya", dibuat miskin dan dibuat kelaparan akibat sistem yang curang, tidak adil, dan tidak berhati nurani kemanusiaan".
Berpijak pada kondisi itu sudah selayaknya jika dana  yang berhasil dikumpulkan, khususnya yang sudah dialokasikan penggunaanya oleh pemerintah seper ti dalam penanganan pandemic Covid-19 ini diikuti dengan audit secara transparan, sekurang-kurangnya diawasi, baik yang berkaitan dengan sumberdananya maupun penggunaan (penyalurannya).Â
Audit ini akan memberi nilai kredibilitas secara etis atau semacam "agunan moral" bukan hanya kepada rakyat yang ditimpa bencana, tetapi juga menjaga citra diri bangsa Indonesia di mata internasional.
Betapa malunya kita saat berkali-kali bangsa ini diberitakan dan diledel sebagai jawaranya kasus korupsi, termasuk menkorup dana kemanusiaan atau sumbangan bencana alam. Kita tentu tidak ingin dikatakan sebagai bangsa beragama yang sedang sampai pada titik nadir kevakuman moral.
Kita tidak menginginkan dibalik musim bencana di negeri ini justru membuka kran suburnya penyakit kleptomania. Seharusnya dengan musim bencana ini kita maksimal berbuat untuk mengentas saudara-saudara kita itu dari himpitan derita komulatifnya. Dan audit yang dilaksanakan diharapkan akan memprevensi hasrat kleptomania  supaya tak sampai hadir sebagai bencana dibalik bencana.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H