Oleh: Abdul Wahid
Pengajar Fakultas Hukum Universitas Islam Malang dan penulis sejumlah buku
Pidato Presiden Jokowi Widodo di hadapan para Menteri dan sejumlah pejabat penting yang menjadi viral bernada kemarahan, dimana diantaranya ditujukan pada para "pembantunya" yang belum menunjukkan kinerja maksimalnya, padahal menurutnya (Presiden), persoalan yang dihadapi bangsa ini sangat serius yang membutuhkan penanganan istimewa, dan bukan yang biasa-biasa.
Secara psikologis setidaknya dapat terbaca bahwa Presiden mendapatkan informasi atas kinerja "pasukannya" yang belum menunjukkan daya tempur maksimal dalam menghadapi Covid-19. Ini dibuktikan dengan serapan anggaran yang "sangat kecil" dibandingkan yang sudah disediakan.
Itu menunjukkan, bahwa Presiden menghadapi beragam "virus" yang berada atau menjangkiti orang-orang di sekitarnya (kepercayaannya), padahal mereka ini yang diharapkan bisa mengentas problem bangsa yang sangat istimew (exstra ordinary) ini.
Presiden memang layak dan harus marah, pasalnya mengharapkan orang-orang di sekitarnya menjadi "pekerja kuat" seperti dirinya tidak gampang, pasalnya di negeri ini banyak elitis yang sukanya memang bukan beberja cerdas dan bekerja keras. Sebaliknya yang banyak atau tidak sedikit adalah para "pemain" dan bahkan demagog.
Sebagai refleksi komparatif, jika orang kecil jadi demagog, maka dustanya tidak banyak mendatangkan kerugian bagi orang lain, tapi kalau pejabat seperti menteri, maka dampaknya bisa menjalar kemana-mana, atau dapat merapuhkan negara, bahkan bukan tidak mungkin bisa membuat negara tinggal jadi tuyang-tuyang.
Itu sejatinya mengingatkan setiap elitis untuk tidak suka memproduk demagogisme, pasalnya dalam demagogisme ini terkandung virus yang bisa merapuhkan, menghancurkan, dan mematikan  bangsa ini. Siapa saja, apalagi punggawa strategis dilini penanganan Covid-19 yang terjangkiti "virus", maka alamat dirinya tidak cukup kuat menjalankan amanat rakyat.
Kita bisa belajar misalnya, bahwa berbagai bentuk praktik penyalahgunaan kekuasaan (abuse of power) seperti korupsi, manipulasi, suap, dan lainnya yang berpola 'mempermainkan jabatan", merupakan deskripsi konkrit malapraktik jabatan (kedudukan) yang bersumber dari demagogisme dan lemahnya etos kerja.
Demagogisme yang dijadikannya sebagai opsi mampu membuatnya berani menjadi "penjahat" atau para pemalas atas nama jabatan secara terstruktur dan masif, yang mengakibatkan rakyat terkena dampak kompilatif. Â
Peramal kenamaan John Neisbith pernah berpendapa bahwa sumber kekuatan baru bukanlah uang yang berada dalam genggaman tangan beberapa orang, namun informasi ditangan orang banyak.Â
Pernyataan ini mengingatkan tentang fundamentalnya kejujuran dalam mendistribusikan informasi. Semakin banyak informasi bermuatan kejujuran yang diperoleh masyarakat, maka masyarakat akan mendapatkan kekuatan hebat. Ini maknanya setiap pejabat sekarang, apalagi kedepan haruslah kumpulan sosok yang jujur dalam berpendapat dan pekerja keras dan cerdas.
Jika sampai masyarakat tidak berdaya atau kehilangan kekuatan fundamentalnya, berarti masyarakat ini tidak akan mampu atau kecil kemungkinannya bisa sukses mewujudkan mimpi-mimpi besarnya, diantaranya berat untuk bebas dari Covid-19, gagal meraih kesejahteraan hidup (apalagi sampai ke tingkat kemapanan), terganjal mewujudkan demokratisasi, dan termarjinalisasi penegakan supremasi hukum yang benar-benar berpihak kepadanya.
Apa yang diingatkan Neisbith tersebut sebenarnya dapat dijadikan sebagai nasehat serius terhadap setiap subyek ellitisme kekuasaan, yang selama ini masih terbelenggu oleh "neotiranisme" partai dan koalisinya, gagap dalam mewujudkan amanat jabatan atau kekuasaannya, serta belum menunjukkan komitmennya  secara serdas dan maksimal dalam membangun masyarakat sejahtera.
. Pribadi  oknum elitis tersebut  mencerminkan sebagai sosok manusia Indonesia berstigma "penjahat istimewa" atau pekerja "seadanya", pasalnya pintar menyembunyikan kebenaran, mengimpotensikan keadilan, atau mengendapakan disobyektifitas  dalam keseharian perilakunya, khususnya yang berelasi dengan kepentingan fundamental bangsa.
Sosok seperti itu umumnya sibuk menjadi oportunis atau giat menciptakan lobang-lobang yang menguntungkannya, atau hak-hak masyarakat dikorbankan, yang salah satu modusnya dengan menciptakan wacana publik yang membingungkan atau menyebarkan informasi dengan bahasa bias yang tentu saja mengandung rekayasa sistemik gaya sosok para pendusta atau  pemian dagelan dengan berbagai lakon.
Akibat dari "kompilasi patologis" elitis itu, mereka bisa mendapatkan keuntungan yang tidak sedikit. Hegemoni borok ini dapat terbaca masifikasinya manakala misalnya ada elitis yang ternyata lebih suka bermain sandiwara yang lebih menyenangkan dirinya sebagai demagogis, dan bukan sebagai elite pemimpin yang populis.
Masyarakat  kita hingga kini masih "terjajah" oleh borok atau keloyoan yang dipertahankan elit kekuasaan, sehingga wajar jika Presiden maah besar. Mestinya kalau para elitis menyadari peran yang dimainkannya, tidak perlulah sampai demikian ini. Â
Presiden yang bersikap demikian patut dibaca sebagai ajakan pada semua punggawanya agar mengutamakan kinerja dibandingkan kepentingan pribadi, keluarga, partai, dan kroninya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H