Begitu pun negera republik Indonesia  ini,  kosa kata liberte, egalite, dan fraternite, masih lebih sering mengedepan satu kosa kata  "liberte" dibandingkan egalite, dan fraternite.  Segmen bangsa ini gampang tergiur mengamalkan kebebasan sampai tidak kenal rambu-rambu agama, moral dan hukum.
Kebebasan dalam hidup ini bukan liberalitas berbasiskan absolutistik, pasalnya jika liberalitas demikian yang berlaku, maka di tengah masyarakat bisa terjadi eksplosi radikalitas atau berbagai bentuk pelanggaran HAM.
Cerita kehidupan atau pergulatan di tengah masyarakat dan bernegara akan menjadi lain kalau kebebasan yang dianugerahkan Allah SWT kepada manusia bisa dimanfaatkan oleh manusia sebagai moral force untuk melawan berbagai bentuk penyakit sosial, etnis, ras, Â dan ideologi, yang mengancam dan potensial menghancurkan NKRI.
"kehadiran" Covid-19 diantara kesejatiannya adalah eksaminasi pembumian terhadap liberte, egalite, dan fraternite. Sungguh lucu sekali kalau di era seperti ini masih ada sikapatau sepak terjang yang justru  mendegradasi egalitarianisme dan persaudaraan. Sikap rasialisme, berpangku tangan, monologis, eksklusifitas, dan sejenisnya adalah ragam virus ketiadakadaban yang tidak kalah seriusnya dibandingkan Covid-19.
Semestinya kebebasan yang diberikans Tuhan dan negara digunakan secara maksimalitas untuk mendukung terwujudnya nilai-nilai adihulung (persamaan dan persaudaraan) guna meringankan dampak Covid-19. Apalah artinya hidup bebas dalam kecukupan atau kaningratan  kalau sesame manusia  terbiarkan menjalani hidup dalampenderitaan dan terus terancam kesehatan, keselamaran, dan nyawanya. Kita harus mengingat apa yang disampaikan Nurcholis Majid bahwa "melindungi satu nyawa, identi dengan melindungi manusia sejagat".
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H