Mohon tunggu...
Abdul Wahid
Abdul Wahid Mohon Tunggu... Dosen - Dosen Fakultas Hukum Universitas Islam Malang

Dosen Fakultas Hukum Universitas Islam Malang dan Penulis sejumlah buku

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Menjaga Supremasi Kebenaran

23 Juni 2020   17:06 Diperbarui: 23 Juni 2020   17:20 53
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Oleh: Abdul Wahid (Pengajar fakultas hukum Universtas Islam Malang dan penulis buku hukum dan agama)

Manusia atau bangsa sekarang sedang (masih) menghadapi ujian dari pandemic Covid-19. Bisa dikatakan semua negara di dunia sedang menjadikannya sebagai salah satu ujian yang berkategori "sangat serius".

Meskipun demikian, jika dibaca dari sudut penugasan manusia di bumi selaku khalifah fil ardl, maka sejatinya ujian dari Covid-19 bukanlah yang sangat istimewa. Ia masih kalah dibandingkan ketika ujian bernama ketidakbenaran menjadi problem masif di tengah masyarakat dan dunia. Sebab, jika ujian ini yang terjadi, masyarakat atau bangsa manapun akan dihadapkan pada petaka yang sangat mengerikan.

Kalau itu yang benar-benar terjadi, manusia  atau bangsa Indonesia bisa distigma mengidap penyakit, yang menurut filosof kenamaan F. Nietzhe "kematian Tuhan" (The God is dead).

Kalau di dalam diri manusia masih bersemai dan tumbuh subur cahaya Tuhan atau masih sangat kuat mensupremasikan kebenaran, tentulah manusia atau bangsa Indonesia tidak gampang terjerumus dalam penggunaan "kacamata kuda" dalam menilai atau menimang menjalani kehidupannya, khususnya dalam merias masa depannya.

Itu maknaya, kebenaran pastilah akan selalu atau konsisten dijadikan sebagai opsi fitri atau sejatinya kalau saja matanya tidak sedang rabun atau rentan dikaburkan oleh pesona duniawi atau perburuan kepentingan hedonistic dan materialistic yang menggoda dan menjinakkannya.

Bisa terjadi, bahwa akal sehat manusia seperti itu telah menjadi tumpul dan mandul akibat dikalahkan oleh "birahi" desakan pemenuhan kepentingan duniawi dan biologis, yang telah diberi tempat untuk menguasainya. Akal sehatnya tidak lebih dari "mesin" perajut target-target yang dikalkulasi dapat mendatangkan kekayaan berlimpah dan kepuasan biologisnya.

Kalau memang Tuhan masih diberi ruang bercahaya menjadi kekuatan moral-spiritual dalam diri manusia Indonesia, khususnya kaum pemegang truf kekuasaan dan pemilik modal besar (semisal konglomerat hitam), tentulah mereka ini secepatnya menanggalkan "permainan kotornya" atau mensucikan tangn-tangan kotornya (the dirty hands)  dengan  cara membangun dan mewujudkan proyek-proyek pemanusiaan manusia Indonesia. Sayangnya, mereka masih berkutat menjadikan rakyat sebagai tumbalnya secara berlapis.

Mereka itu seharusnya memahami, bahwa di dalam diri rakyat itu ada amanat yang menuntut pembumian spiritualitas publik, artinya, keberimanan akan bisa diperoleh dan bermakna dalam dirinya jika "Tuhan" diberi "hak hidup" dan memberdaya dalam bangunan kemaslahatan umat.

Kalau dalam aktivitas mereka itu sudah terlihat menunjukkan keberpihakan pada kemaslahatan masyarakat, maka ini jadi indikasi mulai terbitnya fajar spiritualitas dalam dirinya.

Hidup dan bercahayanya nurani manusia untuk berani menengok dan menerjemahkan, serta memperjuangkan kepentingan sesama (rakyat) adalah tanda-tanda diberinya "Tuhan" ruang  dialogis dalam dirinya atau meminjam istilah Cak Nur (Nurcholis Majid) sebagai Yang Maha Hadir (Ompnipresent).

Sebaliknya, ketika aktifitasnya lebih bercorak oportunisasi dan malversasi moral berpolitik misalnya, maka ini mengindikan kalau Tuhan belum diberi "ruang hidup" yang membinbing dan mencerahkan dirinya.

"Seseorang hamba tidak beriman sebelum Aku (Tuhan) lebih dicintainya daripada dirinya, keluarganya, harta bendanya, dan manusia semuanya", demikian sabda Nabi Muhammad SAW, yang menunjukkan, bahwa  Tuhan merupakan puncak kecintaan hidup manusia yang wajib ditegakkan.

Ketika seseorang misalnya berani melepas sebagian harta yang dicintai demi "proyek sosial" seperti masyarakat yang terkena dampak Covid-19, maka ini pertanda kalau seseorang ini berani melawan keniscayaan lahirnya "berhala baru" yang bernama  tuhan harta.

Kedudukan harta, kekuasan, dan  dimensi keduniaan lainnya bisa diterjemahkannya sebagai investasi spiritualitas yang mengintegrasikan hubungannya dengan Tuhan, manakala investasi ini tidak dibiarkan tereduksi dan dikalahkan oleh tarikan dahsyat "berhala-berhala baru" yang niscaya akan terus mencari tempat dan kuasa dalam diri manusia.

Kekalahan manusia oleh "berhala-berhala baru"  akan melahirkan dan memperbanyak tragedi sosial dan bangsa, karena di tangan manusia seperti ini, kedudukan alam, hak-hak publik, dan kewajiban berserah diri kepadaNya akan terus dikalahkan. Korban lingkungan dan hak kesehatan, kesejahteraan, dan keselamatan manusia ditempatkannya sebagai ongkos logis oleh manusia yang telah kehilangan kiblat sejatinya itu.

tayang di timesindonesia.co.id

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun