Sebaliknya, ketika aktifitasnya lebih bercorak oportunisasi dan malversasi moral berpolitik misalnya, maka ini mengindikan kalau Tuhan belum diberi "ruang hidup" yang membinbing dan mencerahkan dirinya.
"Seseorang hamba tidak beriman sebelum Aku (Tuhan) lebih dicintainya daripada dirinya, keluarganya, harta bendanya, dan manusia semuanya", demikian sabda Nabi Muhammad SAW, yang menunjukkan, bahwa  Tuhan merupakan puncak kecintaan hidup manusia yang wajib ditegakkan.
Ketika seseorang misalnya berani melepas sebagian harta yang dicintai demi "proyek sosial" seperti masyarakat yang terkena dampak Covid-19, maka ini pertanda kalau seseorang ini berani melawan keniscayaan lahirnya "berhala baru" yang bernama  tuhan harta.
Kedudukan harta, kekuasan, dan  dimensi keduniaan lainnya bisa diterjemahkannya sebagai investasi spiritualitas yang mengintegrasikan hubungannya dengan Tuhan, manakala investasi ini tidak dibiarkan tereduksi dan dikalahkan oleh tarikan dahsyat "berhala-berhala baru" yang niscaya akan terus mencari tempat dan kuasa dalam diri manusia.
Kekalahan manusia oleh "berhala-berhala baru" Â akan melahirkan dan memperbanyak tragedi sosial dan bangsa, karena di tangan manusia seperti ini, kedudukan alam, hak-hak publik, dan kewajiban berserah diri kepadaNya akan terus dikalahkan. Korban lingkungan dan hak kesehatan, kesejahteraan, dan keselamatan manusia ditempatkannya sebagai ongkos logis oleh manusia yang telah kehilangan kiblat sejatinya itu.
tayang di timesindonesia.co.id
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H