Hal itu secaa tidak langsung menunjukkan, bahwa di lingkaran keluarga miskin atau fakir, nasib anak-anak Indonesia benar-benar dipertaruhkan. Mereka bisa menjadi korban secara berkelanjutan akibat kesalahan pemahaman dan perlakuan yang ditunjukkan keluarga fakir ini kepadanya.Â
Artinya, ketika kelak mereka menjadi orang tua atau pemimpin (penguasa) keluarga, mereka pun potensial mengadopsi pengalaman kekerasan yang pernah dialami dan punya andil membesarkannya.
Apapun dalih yang ditunjukkan oleh keluarga fakir ini, posisi anak-anak tetap sebagai tumbalnya. Status tumbal ini akan sulit dihilangkan atau diminimalisir, jika pemerintah tidak benar-benar melibatkan dirinya dalam "pembumian" konkrit peran-peran humanitasnya terhadap keluarga atau orang tua miskin. Pengurangan angka kefakiran adalah syarat mutlak (utama) yang akan menentukan terwujudnya humanisasi kehidupannya.
Pengabaian terhadap keluarga fakir merupakan faktor patologis yang secara tidak langsung membuka kran terjadinya dan meluasnya kekerasan domestik yang mengorbankan anak-anak. Jika keluarga miskin ini bisa dikurangi kondisi penderitaannya, maka mereka pun tidak akan gampang menjatuhkan tangan-tangan kotor (the dirty hands) yang berbentuk ketidak-adaban kepada anak.
Selain kemiskinan, Pemerintah (melalui Komisi Perlindungan Anak misalnya) dapat mengkampanyekan setrategi penciptaan iklim pembelajaran keluarga miskin yang berbasis penempatan anak sebagai subyek yang harus disayang, dikasihi, dan dimanusiakan, dan bukan dikorbankan dalam pola-pola represip, yang menempatkan anak sebagai tumbal.Â
Meski keluarga ini hidup dalam kefakiran, tetapi segenap elemennya haruslah dikobarkan atau dinyalakan komitmennya untuk tidak padam dalam mewujudkan perlindungan yang memanusiakannya. Kefakiran juga harus diperanginya secara maksimal supaya tidak menimbulkan dan mengakarkan ragam penyakit sosial lainnya, yang ujung-ujungnya memposisikan untuk anak dikorbankan.