Mohon tunggu...
Abdul Wahid
Abdul Wahid Mohon Tunggu... Dosen - Dosen Fakultas Hukum Universitas Islam Malang

Dosen Fakultas Hukum Universitas Islam Malang dan Penulis sejumlah buku

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Kafilah para Durjana

13 Juni 2020   19:00 Diperbarui: 13 Juni 2020   19:01 128
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
sumber: analisaakhirzaman.com

Dalam konteks itu, "Mutrafun" merupakan pemimpin-pemimpin yang  menempatkan target-target keduniaan, kebendaan, kekuasaan, dan kesenangan sebagai kultur dan kultus, yang tidak mengenal henti, tidak merasa puas dan meledakkan keserakahan untuk memburu dan menguasainya. 

Keserakahan dibiarkan mengendalikan dan menguasai nalar sehat dan kepekaan sosialnya, sehingga apa yang dilakukan tidak memberikan manfaat terhadap rakyat dan makhluk hidup lainnya, sebaliknya mengundang bencana besar. 

Mulai dari manusia dan kekayaan alam dijadikan sebagai obyek eksploitasi dan dehumanisasi yang sudah dikiblatinya. Kasus illegal logging dan illegal fishing adalah contoh rendahnya nasionalisme pemimpin kita. Akibat rendahnya nasionalisme pemimpin ini, rakyat dan alam tidak lebih dari statusnya sebagai "budak".

Pada saat lingkungan fisik alam sudah terpolusi dan komunitas sosial kita sedang rentan oleh perilaku pemimpin yang gemar "membangkang" ajaran kebenaran atau tidak nasionalistik, lantas apalagi yang masih membekas dalam diri kita? Alekander Solzhenitsyn akan menjawab, "tidak ada lagi, kecuali kenyataan bahwa status kita telah turun, lebih rendah daripada status binatang".

Ketika status kemanusiaan kita telah tercemar, terpentrasi dan terhegemoni oleh status kenaifan dan kebinatangan (al-bahamiyah) itu, Maurice Clavel, Filosof asal Perancis cukup menyindir bahwa "gagasan besar yang tertindas dalam kultur modern adalah Tuhan".

Sebagai hikmah kesejarahan, bahwa. kehancuran negeri dan peradaban umat-umat di masa lalu selalu tidak lepas dari ragam dan komplikasi perilaku pemimpinnya yang lebih memenangkan, mengunggulkan dan menkulturkan disnormatifitas, enggan bercerai dengan akumulasi "kebinatangan" atau menolak mencerabut akar-akar kejahatan dan sifat-sifat kebinatangan atau homo-animalistiknya.

Sebut saja umat Nabi Luth dan Nabi Nuh yang lekat dengan budaya mesum atau amoral, menelanjangi ajaran kebenaran atau mengadopsi peran Ya'juj Ma'juj, gemar merusak sumberdaya alam dan melecehkan dakwah kenabian, akhirnya harus dihancurkan oleh Allah "sehancur-hancurnya". 

"Mereka yang mendustakan (mematikan) ayat-ayatNya akan ditarik secara berangsur-angsur ke arah kebinasaan dengan cara yang mereka tidak ketahui (QS, Al-A'raf: 82).

Keberadaan orang-orang saleh (al-muslihun) tidak bisa menghalangi dan menafikan azab (bencana) seperti hadirnya ragam virus (bukan hanya Covid-19) yang sedang dijatuhkan oleh Allah tatkala kejahatan sedang atau telah mengultur dan mensistemik di tangan  kafilah para durjana yang sudah mendeklarasikan diri sebagai Ya'juj Ma'juj.

Ketika mereka semakin kebal dari kritik atau kritik berbasis kebenaran tidak mampu menyadarkannya untuk menjadi nasionalis sejati,  maka barangkali kritik radikal dariNya seperti mengeksploasinya virus atau ujian lain menjadi (akan) semakin sulit untuk dihindari atau seperti menjadi terasa mustahil dikalahkan (dihilangkan).

Oleh: Abdul Wahid. Pengajar Fakultas Hukum Uniersitas Islam Malang dan Penulis buku Hukum dan Agama 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun