Ketika Konfusius ditanya apakah yang pertama-tama akan dilakukan jika ia harus mengelola suatu negara, ia menjawab: "Tentulah meluruskan bahasa".Â
Orang yang bertanya heran: "Mengapa?" "Jika bahasa tidak lurus," jawab Konfusius, "apa yang dikatakan bukanlah apa yang dimaksudkan.
Jika apa yang dikatakan bukan apa yang dimaksudkan, apa yang seharusnya diperbuat tetaplah tidak diperbuat; jika tetap tidak diperbuat, moral dan seni merosot.
Jika moral dan seni merosot, keadilan pun tidak akan jelas kemana arahnya; jika keadilan tidak jelas arahnya, rakyat hanya akan dapat berdiri dalam kebingungan yang tidak tertolong.
Konfusius dalam ucapannya tersebut bermaksud memberikan pelajaran atau nilai-nilai edukatif berharga kepada setiap pengguna bahasa, khususnya pengguna bahasa yang menduduki posisi strategis sebagai elemen lembaga peradilan "yang mulia" seperti polisi, jaksa, hakim dan lainnya.
Itu menunjukkan, ketika seorang aparat atau pejabat yang mendapatkan amanat sebagai pilar peradilan, apa d ranah penyelidikan, penyidikan, penuntutan, maupun putusan, haruslah menyampaikan (menginformasikan) kepada rakyat pencari keadilan (justiabelen) tentang apa yang sedang menjadi kinerjanya secara jelas (obyektif).
Selain dalam ranah norma itu, rakyat bisa dibuatnya paham atau mengerti bahasa hukum yang benar, mereka juga harus dididik dengan menunjukkan keteladanan, bahwa yang ditampilkan kepadanya (rakyat) adalah realitas atau wujud pengaplikasian dari apa yang terumus sebagai norma-norma.
Membuat rakyat paham soal norma dari sudut kebahasaan itu penting. Berbagai upaya harus dilakukan aparat penegak hukum untuk membuatnya mengerti dan mencerdasi political will dibuatnya bahasa norma hukum tertentu.Â
Kalau rakyat sampai tidak paham bahasa hukum ini, maka tentu akan berat di ranah pengimplementasiannya. Mereka akan dengan gampang berdalih "belum paham atau belum tahu kalau ada normanya".
Hal itu sangat sering terdengar di tengah masyarakat akibat banyaknya produk hukum yang dilahirkan negara atau pemerintah. Mereka  merasa hanya memosisikan sebagai pihak yang sedang harus patuh pada kemauan negara, khususnya dalam menaati setiap aturan yang diberlakukan padanya.Â
Seharusnya hal ini tidak perlu terjadi jika aparat gencar memosisikan dirinya sebagai paedagog atau pendidik hukum di ranah praktiknya.
Peran subyek strategis peradilan yang menggunakan bahasa moral, etika, hukum, martabat, dan keluhuran berperilaku dalam hubungannya dengan peran-peran yang dimainkannya di negeri ini.
Sebenarnya menjadi pondasi utama yang menentukan wajah nyata dunia peradilan, pasalnya mereka adalah "perias" yang paling menentukan sesuai dengan posnya masing.
 "Bahasa lurus, tegak, adil, jujur, egaliter, dan berkeadaban " merupakan bahasa moral agung yang jika diaplikasikan oleh subyek peradilan dalam ranah peran strategisnya, akan bisa menghadirkan aroma harum bagi konstruksi negeri ini.
Wajah dunia peradilan ditentukan oleh kinerja mereka itu, sementara sakralitas perannya ikut ditentukan oleh maksimalitas dan sakralitas peran kekuatan pihak lain atau doktrin yang mempengaruhi (mendidiknya).
Kalau dari sudut doktrin, barangkali tidak ada rasanya aparat  ynag tidak memahaminya, pasalnya mereka adalah kumpulan manusia yang dituntut selalu memahami bahasa norma-norma hukum baik ketika sebelum menjadi aparat maupun ketika sudah menjadi aparat.
Pemahaman yang diimiliki oleh aparat itulah yang idealisasinya harus ditransformasi menjadi bahasa hukum rakyat. Pemahaman hukum yang hanya menjadi miliknya aparat ini akan menandakan kegagalan negara dalam membangun pendidikan hukum yang merakyat. Rakyat gagal dibuat paham oleh negara, dan hanya sekedar dijadikan sebagi obyek pemberlakuan norma oleh negara.
Itu tidak boleh berlangsung lama. Harus ada dekonstruksi pendidikan hukum yang benar untuk rakyat. Rakyat dari waktu ke waktu makin pintar, sehingga kepintarannya ini akan lebih gampang mencerna apa yang dititahkan oleh negara.Â
Disinilah ujian bagi penegak hukum yang bukan sebatas menegakkan norma, tetapi sebagai paedagog yuridis yang mendapatkan amanat dari negara.
Oleh: Abdul Wahid, Pengajar Fakultas Hukum Universitas Islam Malang dan penulis buku hukum dan agama
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H