Mohon tunggu...
Abdul Wahid
Abdul Wahid Mohon Tunggu... Dosen - Dosen Fakultas Hukum Universitas Islam Malang

Dosen Fakultas Hukum Universitas Islam Malang dan Penulis sejumlah buku

Selanjutnya

Tutup

Hukum Pilihan

Memaksakan Kepatuhan

28 Mei 2020   11:59 Diperbarui: 28 Mei 2020   11:51 93
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Oleh Abdul Wahid

 

Ahli hukum Belanda J.Van Kan memberikan pemahaman hukum sebagai keseluruhan ketentuan kehidupan yang bersifat memaksa, yang melindungi kepentingan-kepentingan orang dalam masyarakat.

Dari pendapat Van Kan, menunjukkan bahwa dalam norma yuridis itu terkandung tatanan yang tanpa kecuali bersifat memaksa setiap subyek bermasyarakat dan bernegara untuk menaatinya. Suka tidak suka, manusia yang hidup di negara yang memberlakukan norma ini, harus tunduk padanya, damn bukan suka menggelar pembangkangan.

Secara konstitusionalitas, setiap warga negara yang hidup di Negara Republik Indonesia ini diatur menurut hukum yang berlaku, yang identiK dipaksa taat padanya. Hukum dinyatakan berlaku oleh negara ini sebagai norma yang mengikat dan bahkan memaksanya agar menghormati daya  berlakunya  yang menata penentuan  sikap dan perilakunya. Mengapa demikian?

Hukum itu mengandung nilai-nilai keagungan, karena di dalam hukum ini terumus aturan main yang menggariskan tentang perilaku seseorang  yang patut dikatakan salah, benar, khilaf, dan jahat.

Keagungan tidaknya norma yuridis ditentukan oleh setiap subyeknya, memberdayakan ataukah "memerdayainya". Saat para subyeknya menunjukkan kepatuhan, maka kekuatan memaksa menjadi tidak terasa, pasalnya tergeser secara ilmiah dan psikologis sebagai kekuatan yang memberikan kehangatan, kebahagiaan, keselamatan, dan keberlanjutan hidupnya.

Sejatinya, mereka itu dituntut oleh norma hukum untuk menjadi warga yang patuh. Kepatuhannya akan dapat memberikan banyak manfaat baik bagi diri, sesama, masyarakat maupun bangsanya.

Norma hukum diharapkan atau diideaisasikan bisa membuat masyarakat berperilaku berbudi, terpuji, memanusiakan manusia, berkeadilan, mencintai kebenaran, menegakkan keadaban, atau tidak merugikan orang lain. 

Bagi Sebagian masyarakat kita, taat hukum terkadang membutuhkan pengedukasian diri, apalagi kalau direlasikan dengan kebiasaan atau perilaku yang sebelunnya tidak diatur oleh norma yuridis. dari yang semula sebagai tampilan perilaku liberal, liar, atau tidak terkendali, yang kemudian terikat dan taat, tentu saja tidak mudah dilakukan, sehingga mau tidak mau kita harus belajar memaksakan diri menaatinya seiring dengan besarnya urgensi yang bisa kita rasakan.

Diantara kita yang bisa taat atau menjunjung tinggi hukum identic berhasil mengimplementasikan perilaku yang berkeagungan, yang sebenarnya bukan hanya untuk kepentingan menjaga marwah negara atau bangsa, tetapi juga martabat dirinya sebagai subyek bangsa.

Sayangnya, sebagian warga saat negara diserang Covid-19 ini tidak mudah diajak taat hukum. Ada berbagai bentuk pelanggaran norma yang dilakukannya. Mereka tampak berusaha bukan untuk menjadi warga yang patuh, tetapi menyiasati untuk menyimpanginya.

Kita memang merasakan, bahwa akibat Covid-19, kondisi kehidupan bermasyarakat dan bernegara tampak sedang darurat. Bukan soal negara yang sudah jelas memberikan tanda dengan lahirnya produk yuridis darurat atau minimal berfilosofi demi kepentingan "keseluruhan dan kelangsungan hidup rakyat", tetapi realitasnya kondisi bangsa memang sedang dihadapkan dengan masalah serius, yang sejatinya menuntut semuanya menjadi subyek yang taat hukum.

Masih signifikannnya perkembangan Covid-19 di Indonesia dilacak banyak pakar, yang salah satu akar problematikannya terletak pada belum kuatnya tingkat ketaatan atau kepatuhan masyarakat pada norma yuridis yang digariskan negara (pemerintah).

Ketentuan yang mengatur soal PSBB misalnya masih dianggap sebagai regulasi "eksperimen" oleh sebagian warga. Artinya mereka mencoba menantang dengan cara melanggarnya dengan berbagai alasan yang dilogikakan. Lantas bagimana nantinya jika regulasi yang berkaitan dengan "new normal" diberlakukan.

Kita memang masih gampang terbius dengan kepentingan ego pribadi, keluarga, agama, dan bahkan kelompok, sehingga menilai kalau norma yang dilahirkan oleh negara dalam bentuk larangan, tidaklah merupakan norma yang berbasis keadilan atau kepentingan asasinya, yang diantaranya membuat kita terkadang memilih tidak taat.

Kecenderungan memilih yang salah dan menyesatkan itulah yang harus berusaha dikalahkan oleh setiap subyek bangsa. Tanpa upaya demikian ini, apapun yang diobsesikan dan diekspektasikannya  dalam ranah kemuliaan atau kebahagiaan serta kedamaian tidak akna perah terwujud.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun