Corona ini misalnya seharusnya menyadarkan pentingnya kebersamaan dalam mewujudkan "olimpiade" kemanusiaan, namun faktanya, banyak kejadian menunjukkan kalau kita lebih senang jadi "predator"-nya.
Tampak aspek contradictio in actionem  atau peristiwa ritus keagamaan yang kita jalankan secar berlawanan dengan sepak terjang kita dalam membangun relasi sosial. Kita rajin ke masjid, gejera, atau pura, tapi kita juga rajin menjadi "penghisap" keji terhadap hak seseorang atau sekelompok orang yang terkena dampak Corona atau sedang terpapar virus ini.
Meski sedang diuji Corona, kita faktanya masih tergelincir misalnya membangun poros oportunisme atau ber-madzhab kepentingan beralaskan target-target individualistik. kelompok, pragmatis, eksklusif, dan bukannya membangun relasi kemanusiaan yang harmonis-pluralistik dan inklusif.
Kita secara formal rajin memasuki "rumah Tuhan", bukan untuk menguatkan integritas moral keberagamaan, tetapi sekedar supaya terlihat hadir di ranah publik sebagai seseorang atau sekumpulan orang mengimani agamanya.Â
Doktrin keberagamaan yang ramah kemanusiaan, tidak diberikan kesempatan tumbuh progresif sebagai kekuatan yang mendidik untuk mencintai dan melindungi sesama manusia.
Agama yang diimaninya itu tidak ditrnsformasikan dalam ranah empirik sebagai kekuatan fundamental yang membentuk atau membangun relasi kebersamaan yang memanusiakan, melainkan sebagai agama instrumentalis demi memenuhi  hajat instan dan pragmatis.
Oleh: Abdul Wahid
Pengajar Fakultas Hukum Universitas Islam Malang dan pengurus AP-HTN/HAN dan penulis sejumlah buku Hukum dan agama
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H