Kita juga terkadang masih rentan jadikan agama sebatas "baju" atau  tameng untuk berkelana dalam mengikuti oportunisme dan kapitalisme demi kepentingan eksklusif, dan bukan temptkan agama sebagai sumber fundamental mengkreasikan diri dalam ranah pengabdian kemanusiaan atau penegakan hak-hak universalitasnya.
Kita dengan gampang mendisain dan mengagregasikan tangan-tangan kita menjadi tangan-tangan kotor (the dirty hands) Â dan "berlumuran" keserakahan, yang tentu saja mengakibatkan sesama, baik sesama pemeluk agama maupun dari pemeluk agama lain, menghadapi realitas dari tragedi ke tragedi.
Tragedi kelangkaan dan "mencekiknya" harga lat-alat pencegahan wabah Corona merupakan "sampel" Â nyata dari wujud sikap dan perilaku diantara kita, yang kehilangan Keindonesiaan, atau tereduksi jiwa kebertuhanan, terdegradasi jiwa keberadaban, atau mengalami "kematian" kemanusiaan.
Sungguh memilukan ketika ada sejumlah orang yang dengan bangganya memosting keberhasilannya bisa membeli mobil dengan cara menjual masker paska dinaikkan harganya berlipat-lipat. Sikap ini layak disebut sebagai bentuk "ketidakadaban" yang ditahbiskan di tengah keprihatinan ini.
AM Rahman dalam Supremasi Kebiadaban (2012) menyatakan kritiknya, kita ini terkadang lebih senang dan bangga memilih menjadi subyek bangsa yang salah.Â
Kita akui "kemanusiaan yang adil dan beradab" menjadi doktrin kehidupan berbangsa yang berbudi mulia, tapi kita juga sangat sering menggelincirkan diri dalam opsi dan pengabsolutan sikap dan perilaku adigang-adigung, Â yang mendehumanisasi sesama hanya dengan sekedipan mata, meski sesama ini sedang dihadapkan problem serius.
Pernyataan itu mengingatkan kita, bahwa diantara kita ini masih demikian sering menempuh jalan dehumanistik dalam relasinya dengan orang lain.Â
Bukan agama atau ideologi negara yang membuat kita tersesat atau tersasar ke opsi ketidakadaban atau "pemiskinan" praktik "olimpiade" kemanusiaan, tetapi berbagai bentuk pertarungan kepentingan eksklusif, telah membuat kita terseret merasa cukup hidup sendiri, keluarga, dan kelompok.
Itu artinya kita belum menjadikan agama dan ideologi yang kita peluk (kiblati) sebagai kekuatan moral yang mendorong dan menguatkan "olimpiade" kemanusiaan.
Kita senyatanya masih demikian gampang terhanyut mengikuti "bimbingan" emosi, klaim penahbisan kepentingan sendiri, keluarga, dan kelompok, sehingga kita gagal menjadikan sesama sebagai "keluarga besar" Â yang wajib disayangi dan dilindungi dalam kondisi apapun.
Kita pun layak dikatakan atau distigmatisasi sebagai subyek sosial yang kurang serius belajar, meski pelajaran sudah demikian sering menampar wajah kita. Kita benar-benar seperti sebagai sekumpulan elemen bangsa yang mengidap bebalitas, sehingga apapun yang terjadi, kita anggap angin lalu.Â