Di tengah "peperangan" melawan wabah Corona (Covid-19), salah satu hal yang harus kita lakukan secara terus menerus dan massif (meluas) adalah menggelar "olimpiade" kemanusiaan, artinya  setiap  diri subyek bangsa harus merasa terpanggil oleh negara kalau dirinya adalah sosok pemain yang berkewajiban "bermain" atau memenangkan pertarungan, diantaranya dengan selalu hadir untuk memberikan yang terbaik pada sesamanya.
Kondisi masyarakat yang sedang tertekan secara psikologis dan ekonomis, serta bayangan horor akibat ancaman terkena virus Corona dan kondisi lain yang mengimpitnya seperti hasil ketidaksiapan mengikuti perkembangan infprmasi media sosial yang berkadar kurang membahagiakan, jelas membutuhkan para "pemain" yang serius dalam mengikuti "olimpiade" kemanusiaan ini.
Filosof Cicero pernah menyatakan, mea mihi conscientia pluris est quam omnium sermo  yang maknanya hati nurani saya bernilai lebih banyak daripada semua khotbah.Â
Cicero ini secara tidak langsung menyampaikan khutbahnya, bahwa pemosisian model pembumian hati nurani dalam wujud gerakan pemanusiaan manusia identik sebagai aksi humanitas universal yang dapat mengalahkan pola eksklusifitas dan monologis oleh seseorang dan segolongan di tengah kondisi apapun, khususnya saat sesama sedang menghadapi problem serius seperti Corona ini.
Jika hati nurani yang dimenangkan atau "diistimewakan" untuk melihat dan mencerdasi realitas sosial, maka seluruh anatomi tubuh lainnya akan termotivasi dan teredukasikan untuk menempatkan problem kemanusiaan Corona sebagai sentral "olimpiade" pengabdiannya.
Dalam ranah itu, dirinya akan merasa "lapar" jika dirinya tidak mengeksistensikan dalam pengentasan atau beragam pembebasan problem kesulitan sesama akibat Corona.
Dirinya merasa jiwanya "mati" jika tidak bisa memberikan secara totalitas dan yang terbaik untuk bangsanya yang sedang "terluka" serius ini.
Selain itu, kaum beragama tentulah paham bahwa "olimpiade" kemanusiaan itu bagian eksoterisme dari perintah agama atau segala kitab suci.
Di era Corona ini, kosa kata agung dalam beragama tidak boleh sebatas ada dalam kertas dan ranah das sollen, Â dan sebaliknya harus benar-benar membumi dalam ranah realitas (das sein).Â
Agama tidak selayaknya kita tempatkan sebagai "kebesaran" formal, dan sebalikya harus kita jadikan sandaran hidup yang "memimpin" sikap dan perilakau yang mengembangkan pola hidup berkeadaban (berkemanusiaan).
Kita sering sekali membuat opsi bersikap dan berperlaku yang tampak beragama bukan lantaran kita ini menjalankan nilai-niai humanis dalam beragama, tapi karena kita ingin menyenangkan dan memuaskan diri sendiri dan golongan.