Mohon tunggu...
Abdul Wahid
Abdul Wahid Mohon Tunggu... Dosen - Dosen Fakultas Hukum Universitas Islam Malang

Dosen Fakultas Hukum Universitas Islam Malang dan Penulis sejumlah buku

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Negara Jangan Kehilangan Canda

13 Mei 2020   09:39 Diperbarui: 13 Mei 2020   09:49 76
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber : https://mamikos.com/

Beragam kata atau kalimat candaan di tengah kondisi seperti itu setidaknya sedikit bisa mengurai atau menyegarkan tingkat kejenuhan menghadapi terpaan pemberitaan atas kasus-kasus yang secara psikologis menjadi horor. Kalau tidak ada kat atau kalimat demikian, kita barangkali akan terseret dalam apa yang disebut dengan keteralinasian atau keterasingan psikologis.ama

Kita yang belajar psikologis tentulah paham, setidaknya ada sedikt pencerahan, bahwa imunitas diri akan makin bertambah bukan hanya dengan mengonsumsi banyak vitamin, tetapi juga "mengonsumsi" ragam atau banyak atmosfr sosial, psikologis, agama, budaya, dan lainnya, yang kesemua ini bisa berdampak membuat stabilitas kejiwaan bagi yang menikmatinya.

Menjadi lebih menarik lagi jika candaan itu dikembangkan sebagai bagian dari penempatan diri di ranah kritik. Umumnya, dalam hal bercanda, yang kita jadikan obyek untuk ditertawakan adalah sosok orang atau makhluk lain, sementara untuk diri sendiri sering terlupakan, atau bahkan maunya menolak "diolok-olok" (dikritik).

Dengan membuat dan memproduk humor (obyek "tertawaan") secara berkelanjutan, minimal lebih sering dalam hidup ini, seperti dalam lingkaran pergaulan, dalam berelasi sosial, atau dalam atmosfir yang menyita aktifitas berat seperi saat berperang dalma menghadapi Covid-19, maka suasana akan tetap hidup, sehat, kondusif, dan progresip.

Terhadap kinerja kita sebagai pengabdi atau "pekerja" struktural atau kemanusiaan untuk  negeri ini, kritik yang bercorak "menertawakan" memang sangat layak sering diaktualkan, pasalnya  dengan menertawakan negeri sendiri, berarti kita memahami kalau dalam anatomi negeri ini, terdapat sekian banyak virus (penyakit) atau borok, yang salah satu obatnya dengan "menertawakan" diri sendiri atau mengkritik bahwa selama ini, salah satu "kekayaan" Indonesia  adalah masih tumbuh suburnya "badut-badut" atau pemain "akrobat" diantara kita yang sangat piawai menyulap mata bangsa.

Kita ini faktanya memang sering menjadi sekumpulan atau individu yang sangat pantas "ditertawakan" secara serius (terbahak-bahak). Apa yang kita perbuat atau tunjukkan, meski kita menghadapi wabah Covid-19, ada banyak diantara kita yang masih  suka mempertotonkan perilaku yang membuat (mengakibatkan) banyak  orang hidup menderita dan makin berlapis penderitannya, yang mengesankan kalau apa yang kita lakukan itu sebagai sesuatu yang normal dan berkepantasan.

Kalua kondisi itu bukan diri sendiri yang "menertawakan", lantas mau siapa lagi. Menyerahkan pada orang lain untuk "menertawakannya" belum tentu mau dan berani berurusan dengannya, sehingga yang layak adalah "menertawakan' diri sendiri, bahwa apa yang diperbuatnya tergolong periaku atau sepak terjang yang menghadirkan kerugian bagi orang lain, atau bahkan masyarakat, bangsa, dan negara.

Cobalah kita memulainya dengan melakukan itu, kita akan merasa malu sendiri. Kita akan melihat diri sendiri sebagai sosok yang bisa saja tidak ubahnya "keranjang sampah", yang di dalamnya banyak dan bersemai sejumlah baksil, yang kesemua ini kita peroleh dan bahkan kembangkan melalui pola menabur derita atau praktik penihilitasan pemanusiaan manusia.  

Kita bahkan akan menstigma diri sendiri sebagai pemain yang masih "sangat miskin" menabur dan menyuburkan kebajikan di tengah masyarakat. Jika kita menyadari ini, barangkali perubahan besar tidak akan terelakkan akibat kita menyegerakan dan mempercepat revolusi mentalitas dan moralitas.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun