Padahal namanya nyawa manusia, seperti dinyatakan Nurcholis Majid: "membunuh satu nyawa berarti membunuh manusia sejagad, dan menghidupi satu nyawa berarti menghidupi manusia sejagad". Â
Apa yang disebut "perikemanusiaan" yang berintikan pada nilai-nilai keadaban dan keagamaan seperti sedang mati  atau hanya jadi aksesoris yang kehilangan maknanya akibat dilibas oleh tampilnya perilaku bercorak "kebinatangan" (pembenaran pelanggaran norma yuridis).Â
Dalam ranah ini, yang terjadi dan barangkali berkembang membingkai konstruksi negara  adalah perilaku bercorak seperti disebut oleh Thomas Hobbes "homo homini lupus", manusia itu serigala bagi yang lain, siapa yang kuat dan berkuasa, dan siapa yang punya uang banyak, maka dialah yang punya kekuatan untuk jadi serigala yang bisa mengorbankan orang lain.
Dalam konstruksi negara demikian itu, sulit diharapkan akan sepi dari pelanggaran HAM, karena  masing-masing segmen bangsa, terutama elitnya lebih terkonsentrasi pada prinsip mencari selamat, mengedepankan kepentingan kelompok, atau barangkali memproduk tatanan (norma yuridis) yang sekedar "ada" atau diadakan demi memenuhi kepentingan eksklusif pihak tertentu. Dalam ranah inilah, politik hukumnya keluar dari zona kepentingan keadilan atau kesejatian asasi hak rakyat.
Segmen komunitas elitnya  yang bermental seperti itu umumnya lebih sibuk mengurus bagaimana bisa kembali menduduki jabatan, meningkatkan indek prestasi jabatannya, dan memuja-muja jabatannya dengan segala cara. Di tangan elitis demikian, kepentingan asasi kalangan profesional seperti notaris dan pemohon, bisa dihadapkan dalam kerentanan proteksi.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H