"Alam memberi kita satu lidah, akan tetapi memberi kita dua telinga, agar kita mendengar dua kali lebih banyak daripada berbicara" demikian La Rouchefoucauld mengingatkan setiap penyelenggara negara supaya mendengar dengan serius apa yang terjadi di tengah masyarakat.
Tulisan Rouchefoucauld itu mengkritik tajam kalangan penyelenggara negara, khususnya elemen peradilan yang seringkali bersikap masa bodoh terhadap sikap kritis masyarakat atau pencari keadilan yang mereaksi ketidakadilan terhadap kinerjanya, terutama terhadap putusan para hakim.
Tulisan itu secara tidak langsung meminta pada penyelenggara peradilan untuk membaca dan menyikapi apa yang terjadi di tengah masyarakat sebagai bahan pertimbangan hukum, filosofis, Â dan etisnya dalam membangun kinerjanya agar ketika menjatuhkan putusan misalnya, putusan yang dijatuhkan benar-benar berkeadilan atau berlandaskan nilai-nilai kebenaran, kejujuran, kepastian, dan kemanusiaan.
Berpijak pada tulisan itu, terdapat beragam pertanyaan seperti masih adakah di negeri ini ex aequo et bono (putusan yang adil)? benarkah putusan yang dijatuhkan oleh hakim selama ini memang merupakan putusan yang adil? tidakkah putusan hakim hanya mencerminkan putusan yang memihak dan menguntungkan dirinya?
Pertanyaan-pertanyaan publik seperti itu muncul akibat sepak terjang sebagian hakim  yang tidak menjaga marwah diri dan lembaga yudisial dimana dirinya menjalankan profesi atau menahkodainya. Bisa jadi putusan yang dijatuhkan dalam menangani suatu perkara adalah putusan berkeadilan karena sesuai dengan alat bukti atau kebenaran yang ditemukannya, namun ketika direlasikan dengan sikap dan perilakunya, pencari keadilan berhak meragukannya.
Standar publik dalam menilai putusan hakim itu rasional, pasalnya publik sudah demikian sering dan akrab dihadapkan pada sepak terjang hakim yang melanggar norma-norma yuridis maupun etika. Pelanggaran yang dilakukan ini bisa saja dianggap oleh hakim sebagai realitas normal akibat kondisi kultur deviatif yang menghegemoninya.Â
Kultur deviatif itu memang masih menjadi penyakit general yang selama ini mencengkeram dunia peradilan, termasuk elemen penyelenggaranya yang bernama hakim, sehingga ketika etika profesi yang dilanggar, ditempatkannya sebagai "pelanggaran ringan" atau bukan dosa besar.Â
Bisa saja di tangan hakim nakal,  kejahatan istimewa (exstra oridinary crime)  seperti suap dan  gratifikasi yang bertajuk barter melakukan rekayasa putusan atau menguntungkan seseorang yang yang berhasil "mempengaruhinya" saja, bisa dianggap sebagai subordinasi kultural, sementara untuk kasus pelanggaran etika disikapinya sebagai peristiwa "sekedar kekhilafan".
Asumsi seperti itu jelas mereduksi esensialitas atau kesejatian etika dalam mengawal setiap pengemban profesi hakim. Etika seharusnya ditempatkan melebihi supremasi hukum atau setidaknya sejajar dalam ranah urgensinya norma, apalagi jika direlasikan dengan profesi hakim. Mengapa?
Kita yang pernah belajar ilmu hukum setidaknya memahami derajat mulianya profesi hakim, yang derajat ini melebihi derajatnya pengemban profesi hukum lainnya seperti polisi, jaksa, dan penasihat hukum.Â
Karena tingginya derajat hakim itu, sudah seharusnya dalam menjalankan profesinya, aspek etika menjadi pengawal tertingginya. Jika etika sudah tidak digunakan sebagai pondasi dan sekaligus rule of game dalam setiap sikap dan perilakunya, maka keadilan bisa dipastikan bukan hanya redup, tapi juga mengalami kematiannya.
Saat gonjang-ganjing publik menyikapi kasus putusan Mahkamah Konstitusi yang memenangkan hak angket DPR terhadap Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), wajar jika sinisme publik mulai bergeser tidak semata ditembakkan kepada DPR, tetapi juga hakim-hakim MK yang "memenangkannya", pasalnya ada kecenderungan secara general mengenai pengabaian atau reduksi etis di sebagian hakim di negeri ini, termasuk di MK.
Memang kita dituntut untuk menghormati putusan hakim (MK), tetapi menghormati putusannya tidak berarti menghilangkan, apalagi mengeliminasi sikap kritis kita kepadanya. Kalau kita mendiamkannya, apalagi sampai tidak melakukan reaksi, berarti kita membiarkan konstruksi ketatanegaraan Indonesia menjadi kropos dan hancur.Â
Ada suatu adagium "evil causis evil vallacy" (Cohen, 1970), bahwa kejahatanlah yang menyebabkan kesalahan jahat atau sesuatu yang buruk (jahat) bisa terjadi akibat kejahatan yang mempengaruhinya. Konstruksi masyarakat dan negara bisa rapuh akibat mengidap banyak "baksil" di dalamnya.
Besarnya keburukan (pelanggaran) etis yang dilakukan seseorang karena kedudukan (jabatan) yang diamanatkan padanya, maka keburukan demikian bisa berpengaruh eskalatif dan akseleratif di tengah kehidupan bermasyarakat dan bernegara.
Dalam ranah itu, hakim bisa terjerumus serius menjadi "pemain" keji yang berlindung dibalik profesi atau institusinya. Salah satu modus sistematis ilmiahnya, apa yang diperbuatnya  dimasukkan dalam gugus logika hukum  dan pasal-pasal yang membenarkannya.
Keterjerumusan hakim menyimpangi norma etis dan yuridis di negeri ini, di samping harus terus dikawal oleh publik, juga harus diperkuat pola rekrutmennya yang berbasis pengutamaan sosok yang berpotensi atau berlatar memiliki bibit-bibit sebagai negarawan
Darimanapun mereka (hakim) itu berasal, para pencari keadilan tidak "terlalu" mempersoalkannya, meski hal ini juga sering menjadi obyek diskursus soal rekrutmen hakim, pasalnya saat mereka sudah memasuki kawasan pengadilan, mereka harus sadar diri, bahwa dalam profesi yang diembannya, mereka dituntut menjadi "negawaran hukum".
Kita bisa mengambil sampel, bahwa dalam perjalananan MK, pernah ada hakim yang berasal dari politisi, yang ternyata sosok hakim ini sukses mengantarkan atau menahkodai MK. Marwah MK ditangannya benar-benar terjaga, maksud marwah MK ini tentu saja berkaitan dengan etika profesi yang dijaganya. Publik tentu mengetahui sosok ini.
Di tangan sosok itu, marwah MK sebagai sandaran pencari keadilan, benar-benar diapresiasi oleh publik. Sikap etis yang ditunjukkannya membuat publik menunjukkan kredibilitasnya, sehingga putusan yang diproduk oleh MK dihormati, meski dalam beberapa hal menjadi obyek logis diskursys ilmiah.
Itu semua berakar pada aspek implementasi etika profesi. Marwah peradilan (MK) terjaga berkat pilar-pilarnya yang menggunakan etika saat memimpin jalannya persidangan maupun di luar persidangan saat berelasi dengan beragam tantangan (ujian) politik dan ekonomi.
Oleh: Abdul Wahid
(Pengajar Fakultas hukum Universitas Islam Malang dan Penulis Buku)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H