Mohon tunggu...
Abdul Wahid
Abdul Wahid Mohon Tunggu... Dosen - Dosen Fakultas Hukum Universitas Islam Malang

Dosen Fakultas Hukum Universitas Islam Malang dan Penulis sejumlah buku

Selanjutnya

Tutup

Hukum Pilihan

Ex Aequo Et Bono

24 April 2020   15:03 Diperbarui: 24 April 2020   15:19 530
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Hukum. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Saat gonjang-ganjing publik menyikapi kasus putusan Mahkamah Konstitusi yang memenangkan hak angket DPR terhadap Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), wajar jika sinisme publik mulai bergeser tidak semata ditembakkan kepada DPR, tetapi juga hakim-hakim MK yang "memenangkannya", pasalnya ada kecenderungan secara general mengenai pengabaian atau reduksi etis di sebagian hakim di negeri ini, termasuk di MK.

Memang kita dituntut untuk menghormati putusan hakim (MK), tetapi menghormati putusannya tidak berarti menghilangkan, apalagi mengeliminasi sikap kritis kita kepadanya. Kalau kita mendiamkannya, apalagi sampai tidak melakukan reaksi, berarti kita membiarkan konstruksi ketatanegaraan Indonesia menjadi kropos dan hancur. 

Ada suatu adagium "evil causis evil vallacy" (Cohen, 1970), bahwa kejahatanlah yang menyebabkan kesalahan jahat atau sesuatu yang buruk (jahat) bisa terjadi akibat kejahatan yang mempengaruhinya. Konstruksi masyarakat dan negara bisa rapuh akibat mengidap banyak "baksil" di dalamnya.

Besarnya keburukan (pelanggaran) etis yang dilakukan seseorang karena kedudukan (jabatan) yang diamanatkan padanya, maka keburukan demikian bisa berpengaruh eskalatif dan akseleratif di tengah kehidupan bermasyarakat dan bernegara.

Dalam ranah itu, hakim bisa terjerumus serius menjadi "pemain" keji yang berlindung dibalik profesi atau institusinya. Salah satu modus sistematis ilmiahnya, apa yang diperbuatnya  dimasukkan dalam gugus logika hukum  dan pasal-pasal yang membenarkannya.

Keterjerumusan hakim menyimpangi norma etis dan yuridis di negeri ini, di samping harus terus dikawal oleh publik, juga harus diperkuat pola rekrutmennya yang berbasis pengutamaan sosok yang berpotensi atau berlatar memiliki bibit-bibit sebagai negarawan

Darimanapun mereka (hakim) itu berasal, para pencari keadilan tidak "terlalu" mempersoalkannya, meski hal ini juga sering menjadi obyek diskursus soal rekrutmen hakim, pasalnya saat mereka sudah memasuki kawasan pengadilan, mereka harus sadar diri, bahwa dalam profesi yang diembannya, mereka dituntut menjadi "negawaran hukum".

Kita bisa mengambil sampel, bahwa dalam perjalananan MK, pernah ada hakim yang berasal dari politisi, yang ternyata sosok hakim ini sukses mengantarkan atau menahkodai MK. Marwah MK ditangannya benar-benar terjaga, maksud marwah MK ini tentu saja berkaitan dengan etika profesi yang dijaganya. Publik tentu mengetahui sosok ini.

Di tangan sosok itu, marwah MK sebagai sandaran pencari keadilan, benar-benar diapresiasi oleh publik. Sikap etis yang ditunjukkannya membuat publik menunjukkan kredibilitasnya, sehingga putusan yang diproduk oleh MK dihormati, meski dalam beberapa hal menjadi obyek logis diskursys ilmiah.

Itu semua berakar pada aspek implementasi etika profesi. Marwah peradilan (MK) terjaga berkat pilar-pilarnya yang menggunakan etika saat memimpin jalannya persidangan maupun di luar persidangan saat berelasi dengan beragam tantangan (ujian) politik dan ekonomi.

Oleh: Abdul Wahid
(Pengajar Fakultas hukum Universitas Islam Malang dan Penulis Buku)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun