Berangkat dari kondisi itu, setiap elemen negara boleh saja mengaktifkan diri dalam diskursus secara teoritis tentang makna penyalahgunaan kekuasaan atau malversasi struktural dan unsur-unsurnya, serta sifat-sifat korupsi, akan tetapi penguatan ide-ide cerdas ini saja belum cukup untuk membabat menjamur atau masifnya korupsi.]
Mempertimbangkan kondisi itu, maka yang diperlukan di era Covid-19 atau kondisi apapun  adalah ranah penerapan dan penguatan si empirik yang berisi perang progresif atau berkelanjutan dan membara untuk memusuhi "kaum kriminal berdasi" itu.
Ranah itu berangkat dari mudahnya ditemukan sejumlah atau modus operandi penyelingkuhan kolaboratif dan sindikatif kekuasaan yang sering mengalami eksperimentasi sosok pemain dan strategi, dimana mereka merasa bangga bisa menikmati "jaringan" praktik anomalistiknya ini.
Terbaca masih kuatnya kondisi pemerataan korupsi di lembaga-lembaga strategis negara. Mereka yang dipercaya mengelola keuangan di lembaga-lembaga ini, bukannya memproteksi penggunaan keuangan negara, tetapi justru disalahalamatkan penggunaannya. Dalam sisi inilah yang ditakutkan ketika dilakukan penanganan Covid-19, dimana kondisi keuangan yang jumlahnya sangat banyak, ternyata dijadikan obyek "bancakan" oleh para pemain struktural.
Saat ini.kesadaran etis, yuridis, dan religiusitas profetis, serta kecerdasan intelektualitas penyelenggara kekuasaan yang mendapatkan amanat mengelola keuangan untuk Covid-19 menjadi modal utamanya.
Oleh Abdul Wahid (Pengajar Fakultas hukum Universitas Islam Malang dan Penulis Buku)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H