Sedikit membaca perjalanan wabah Covid-19, setidaknya dari Wuhan hingga Indonesia ini, ia dapat dibaca laksana pedang, yang di satu sisi dapat menghadirkan "horor", yang faktanya memang membuat mayarakat dunia ketakutan layaknya disembelih, meski disisi lain Covid-19 ini juga menantang manusia selaku pemimpin dimuka bumi (khalifah fil-ardl) supaya bisa mengalahkannya.
Sahabat Umar bin Khattab  pernah berpesan "waktu itu laksanaka pedang, jika kamu mengabaikannya, maka kamu akan disembelihnya". Waktu bisa menyembelih seseorang yang mempermainkan dan tidak memanfaatkannya dengan sungguh-sungguh. Bahkan Nabi Muhammad SAW mengingatkan, ada dua kenikmatan yang seringkali membuat manusia itu lupa,  kesehatan dan waktu luang.
Peringatan itu sudah menegaskan, bahwa waktu itu sangat penting dalam kehidupan manusia. Covid-19 ini identik memberikan waktu yang menantang berpacu. Di dalam pacuan ini, gerak aktifitas manusia dan sejarah pergumulannya di dunia ditentukan.Â
Dirinya akan menjadi manusia yang bermakna, dihormati, dan dikagumi bilamana peran-peran yang dimainkan bisa memberikan jawaban kalau dirinya bisa jadi pemenang.Â
Misalnya waktu di rumah atau work from home (WFH), waktu menjaga jarak (social distancing atau physical distancing), serta  waktu beribadah (tuntutan intensitas waktu dalam berhablumminallah).
Kalau hal itu terjadi sebaliknya, manusia bisa dikecam dan ditulis oleh sejarah sebagai subyek manusia yang gagal atau kalah. Dalam ranah inilah, Covid-19 tidak ubahnya bagian dari "setan faktual" yang sedang jadi pedang yang setiap saat bisa menyembelihnya.
Namanya juga "setan faktual", Covid-19 ini menempatkan sosok pemimpin untuk digaris depan yang disembelihnya, pasalnya, ketika seorang itu menduduki jabatan sebagai pemimpin rakyat (umat), seharusnya yang paling diperhitungkan dalam ranah asasi dan fitri kepemimpinannya adalah terealisir tidaknya aktifitas kerjanya sesuai dengan maksimalitas waktu yang harus ditunjukkanya.
Jika dengan waktu yang tersedia sebagai pemimpin rakyat, ternyata perubahan atau aktifitas yang dilakukan dosisnya kecil atau tidak memberikan  banyak manfaat bagi hak Kesehatan dan keselamatan rakyat misalnya, maka pemimpin ini sama dengan mengorbankan dirinya untuk disembelih oleh janji dan sumpahnya sendiri.
Setiap sumpah mengandung perikatan moral-religiusitas yang wjaib ditepati. Mengingkari sumpah sama artinya dengan "menyembelih" Â kadar kesetian dan konsistensi kepemimpinan moralnya, yang ini semua berarti identic "disembelih" oleh Covid-19.
Dengan mempertimbangkan sakralnya waktu itu, seharusnya seorang pemimpin benar-benar bisa memeta secara cermat antara waktu yang dicanangkan dengan bobot amanat atau tanggungjawab yang harus ditunaikan dan dituntaskan.Â
Waktu (kesempatan) yang dimiliki sebagai pejabat negara (pemerintahan) bukanlah waktu yang dimiliki sebagai individu, karena setiap perhitungan waktu  haruslah bermuatan penegakan tanggungjawab atau pemenuhan janji kepada rakyat.
Sayangnya yang seringkali kita baca, bahwa pemimpin  itu kurang serius menerjemahkan dan menyandingkan antara beratnya tugas yang harus diemban dengan kesempatan mulia dan "ningrat" yang disediakan negara.Â
Seorang pemimpin misalnya kadang-kadang bisa terjebak dalam kampanye penuntasan program hanya dengan alokasi waktu yang singkat, tanpa mengukur beratnya program yang hendak dijalankan. Akibatnya selain program ini tidak tuntas, juga mengakibatkan terjadinya banyak problem baru yang "diundangnya".
Rakyat yang memang kedudukannya identik vox populi, vox dei, suara rakyat adalah suara tuhan, tentulah  sangat membutuhkan totalitas kinerja setiap pemimpin bangsa ini untuk membuktikan tidak mau "disembelih' oleh Covid-19. Suara tuhan (dari rakyat) sedang bergemuruh akibat gempuran Covid-19, yang memanggil setiap subyek pemerintahan untuk jadi kekuatan proteksi istimewanya.
Mereka harus benar-benar tunjukkan punya kemampuan hebat melebihi Covid-19, tda boleh tampak sempoyongan  apalagi sampai putus asa, pasalnya rakyat saja tidak akan memiliki kemampuan memadai untuk melawannya, jika para elitisnya tidak menunjujukkan kalau dirinya siap "berani hidup" bermartabat dengan segala militansi yang ditunjukkan, kesalehan yang dikreasikan  secara progresif dan inklusif, serta sumberdaya yang tanpa diskriminitaif diperuntukkan bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat (yang sebagian sudah berada dalam ketidakberdayaan).
Oleh: Abdul Wahid
Pengajar Fakultas Hukum Universitas Islam Malnag
dan Penulis Buku Hukum  dan Agama
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H