Berita politik dan hukum belakangan ini berkembang cepat. Akselerasinya sangat tinggi. Belum sempat mencerna secara rasional dan yuridis tentang institusi mana yang berwenang menerima laporan Komjen Budi Gunawan (BG) terhadap Abraham Samad soal penetapan tersangkanya, kini publik dibuat geger dengan “informasi” atau testimoni soal sikap Abraham Samad sekarang yang dikaitkan saat mencalonkan diri sebagai cawapres.
Barangkali benar jawaban pemenang Nobel Perdamaian Sean Bride, saat ditanya para jurnalis tentang hak istimewa yang dipilihnya, yang ia sebut “hak atas informasi”, pasalnya informasi itu bisa membuat seseorang atau masyarakat secepatnya mendapatkan pengetahuan, cerdas, dan terdidik, namun sebaliknya bisa membuat masyarakat dibodohi ketika informasinya tidak benar, alias sarat kecurangan.
Berita terkontemporer, Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P) memberikan testimoni soal Ketua KPK, Abraham Samad. Plt. Sekjen PDI-P, Hasto Kristiyanto di Jakarta, Kamis (22/1) menyatakan, sangat kuat kesan kalau Ketua KPK Abraham Samad sedang membalas dendam kepada pemerintahan saat ini dan parpol pendukung ketika mengumumkan Komjen (Pol) Budi Gunawan sebagai tersangka KPK (Suara Pembaruan, 22 Januari 2015) .
Hasto Kristiyanto menyatakan peristiwa itu dengan membeberkan kesaksian saat pertemuannya dengan Ketua KPK, Abraham Samad pada 19 Mei 2014.Saat itu, Hasto adalah bagian dari Tim Sukses Jokowi dan momentumnya adalah saat putaran terakhir dalam penentuan pasangan capres-cawapres.
Dalam kesaksian Hasto disebutkan, Pada 19 Mei 2014, sekitar pukul 20.00 WIB, diputuskanlah bahwa calon wapres pendamping Jokowi adalah Jusuf Kalla (JK). Keputusan itu diambil oleh Jokowi sendiri sebagai calon presiden, dengan mendapat masukan dari seluruh parpol pendukungnya.
Memang saat itu, suara PDI-P di Pemilu Legislatif tak memenuhi syarat mengajukan pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden, sehingga dilakukan kerja sama dengan sejumlah Parpol (NasDem, Hanura, PKB, dan PKPI). Dari masukan yang ada, Jokowi memutuskan cawapresnya adalah JK.
Setelah itu, sekitar pukul 24.00 WIB, Hasto membuat janji bertemu dengan Abraham Samad, karena diperintahkan Jokowi untuk menyampaikan keputusan itu. Hasto menceritakan realitas politik yang tidak memilihnya (Abraham Samad). Samad lalu mengatakan ’saya tahu. Karena saya sudah melakukan penyadapan. Saya tahu yang menyebabkan kegagalan saya ini Bapak Budi Gunawan’. Itu yang dia sampaikan saat itu. Ada saksinya,"
Lalu apa benar BG yang menolak Samad sebagai cawapres?
Hasto mengatakan, BG sama sekali tak terlibat. Karena secara formal dan informal, proses penunjukan cawapres dilakukan oleh parpol dan gabungan parpol pendukung Jokowi. Mereka mengusulkan JK karena kalkulasi politik untuk menang pada Pilpres 2014.
Testimoni Hasto tidak bisa dianggap kabar angin. Testimoni ini harus ditindaklanjuti, baik oleh institusi Polri maupun Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Testimoni juga tidak boleh disikapi sebagai instrumen politik yang bermaksud melakukan pembunuhan karakter terhadap Abraham Samad (AS).
Testimoni Hasto itu juga tidak sepatutnya ditempatkan secara pragmatis sebagai bentuk pelemahan terhadap KPK, pasalnya, jika ada sikap kritis atau testimoni terhadap sepak terjang para “punggawa” KPK, lantas dinilainya sebagai bentuk pelemahan, maka hal ini selain tak ubahnya dengan menempatkan KPK sebagai institusi yudisial yang mempunyai hak imunitas mutlak dari kesalahan, baik kesalahan karena melakukan pelanggaran etik maupun pelanggaran hokum, juga berpeluang besar menyumbat sikap kritis masyarakat.
Kita coba buka rekam jejak AS saat jelang Pilpres 2014, dimana ketika itu sangat gencar diberitakan di berbagai media massa tentang kemungkinan AS mencalonkan atau dicalonkan menjadi cawapres. Pemberitaan yang ada, tidak pernah memuat adanya kepastian, bahwa AS mencalonkan diri jadi wapres.
AS ketika ditanya wartawan tentang tema serupa hari ini, juga memberikan jawaban 'positif'. Saat ditanya soal kemungkinan menerima pinangan Prabowo pun, Abraham Samad meminta waktu untuk melakukan salat istikharah (Detiknews, 19 Mei 2014).
Dalam kalimat lain saat semakin gencar berita akan bersatunya Prabowo-AS, AS berujar “jadi ketua KPK, jadi capres dan calon wapres adalah takdir Tuhan. Sebagai manusia biasa, manusia tidak bisa mengatur, dan menolak takdir” (Venza81, Maret 2014).
Versi lain dari Merdeka. Com saat AS digadang-gadang akan mendampingi Capres Joko Widodo, diberitakan, bahwa Capres PDIP Joko Widodo (Jokowi) menyebutAbraham Samadsalah satu kandidat cawapresnya.Jokowimenilai Ketua Komisi PemberantasanKorupsi(KPK) itu sosok yang berani dan konsisten dalam pemberantasankorupsi. Ketika namanya mencuat, Abraham sempat mengatakan seorang manusia tidak mungkin menolak takdir, seperti di saat dirinya mencalonkan diri menjadi ketuaKPK. AS juga berjanji bakal meminta izin kepada pimpinan dan pegawaiKPK atas keputusan yang akan diambil. "Saya harus minta izin kepada pimpinan yang lain dan seluruh pegawaiKPK, kalau mereka merestui, dan setelah istikharah dan mendapatkan petunjuk baru saya ambil keputusan”
Kalau kita melakukan investigasi di berbagai media lain di sekitar bulan Maret 2014, memang mengisyaratkan, bahwa AS sedang jadi sosok yang diperebutkan, baik oleh Capres Jokowi maupun Prabowo. Dalam menyikapi kondisi politik sebagai sosok yang diperebutkan, AS memberikan jawaban yang bersifat sangat politis, yakni “menyerahkan semua pada takdir”.
“Takdir” dalam ranah itu, akhirnya berposisi sebagai dalil politik, pasalnya AS tidak mentransparansikan dirinya menerima atau menolak menjadi cawapres, sehingga dengan kalimat yang disampaikannya, AS bisa berapologi saat kekuatan politik (kubu Capres tertentu) tidak memilihnya.
Di sisi lain, bisa jadi apa yang ditestimonikan Hasto tidak benar, artinya testimoninya juga bersifat apologis atas kondisi politik yang sekarang sedang kurang menguntungkan bagi PDIP, khususnya kepada kandidat Kapolri Budi Gunawan, atau sebaliknya Hasto dengan PDIP bermaksud menunjukkkan kepada publik, bahwa AS dan KPK masihlah berisi manusia-manusia biasa yang punya ambisi-ambisi politik (kekuasaan) tertentu.
Dengan membaca peta kondisi itu, rasanya solusi yang tepat adalah kehadiran Komite Independen untuk menginvestiga dan “menyidangkan” Hasto dan AS, serta pihak-pihak lain yang bisa didengar kesaksiannya. Negara secepatnya perlu membentuknya supaya tidak semakin kencang dan berkembang “industri fitnah” atau informasi-informasi bercorak “sampah” (garbage information) baik dari zona KPK maupun politik yang sama-sama mengobral praduga bersalah.
Dalam ranah peradilan kode etik itu nantinya, prinsip KPK dapat digunakan sebagai basis moral rule of game, yakni “jujur itu hebat”. Setiap anggota komite wajib menjaga atau menghormati sikap jujur seperti jujur menyampaikan kejadian yang sebenarnya, jujur mencalonkan atau tidak mencalonkan, jujur saling bertemu, jujur pernah melakukan penyadapan peristiwa politik, dan jujur menyampaikan sessuatu yang sebenar-benarnya, serta jujur tidak melakukan atau menyatakan sesuatu yang dipersangkakan orang atau pihak lain.
Kejujuran itu wajib diikuti sumpah dengan resiko akan mendapatkan nestapa atau musibah tertentu jika ternyata kejujurannya bukanlah yang sebenar-benarnya. Sumpah asal sumpah sudah demikian sering disampaikan dengan merdu oleh para pihak yang akan menduduki jabatan tertentu, namun sumpah tak ubahnya sekedar susunan kata yang kehilangan makna ketika mereka sudah menempati jabatan dengan segala keuntungan yang diraihnya.
Kejujuran semua pihak diperlukan bukan semata untuk menjaga kewibawan KPK atau institusi politik tertentu, tetapi yang jauh lebih penting adalah demi tegaknya citra konstruksi negara supaya Indonesia yang the biggest community in the world ini tidak diposisikan atau distigmatisasikan sebagai negeri berdaulatnya “para demogog”
*Pengajar Program Ilmu hukum Unisma dan Peraih Hibah Teks Buku Ajar Kementrian Pendidikan 2014 tentang “Anatomi Tindak Pidana Pendanaan Terorisme”
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H