Fenomena pergantian musim dari kemarau ke musim hujan kini mulai terlihat dampaknya pada budidaya udang windu di tambak tradisional. BMKG memprediksi, cuaca ekstrem pada peralihan musim tahun 2020 hingga awal 2021 bakal melanda Sulawesi selatan bagian barat.
Kawasan pertambakan udang di Sulawesi selatan sebagian  besar ( 94%) dikelola dengan mengandalkan kondisi alam. Sistem budidaya udang secara tradisional tersebut dengan produktivitas rata-rata 0,1-0,5 to/ha (DKP Propinsi Sulawesi selatan, 2020). Kontribusi alam terhadap produktivitas tambak tradisional dalam hal penyediaan makanan alami dan kestabilan parameter fisik dan kimia air pada kawasan tambak.
Kepala Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG), Dwikorita Karnawati dalam siaran persnya beberapa waktu lalu menyatakan, pemantauan BMKG hingga akhir Agustus 2020 terhadap anomali suhu muka laut pada zona Ekuator di Samudera Pasifik  menunjukkan adanya potensi La Nina yang berpotensi mengakibatkan peningkatan curah hujan di sebagian wilayah Indonesia termasuk Sulawesi selatan pada saat musim hujan nanti.Â
La Nina berkaitan dengan lebih dinginnya suhu muka laut di Pasifik ekuator  dan lebih panasnya suhu muka laut wilayah Indonesia, sehingga menambah suplai uap air untuk pertumbuhan awan-awan hujan di wilayah Indonesia dan menghasilkan peningkatan curah hujan.
Prediksi musim hujan lebih basah dari normalnya berpotensi terjadi bencana banjir. Demikian juga pasang air laut dan angin baratan biasanya bersamaan setiap akhir tahun. Peringatan dari BMKG itu mulai disikapi oleh pembudidaya. Informasi cuaca ekstrem yang diprediksi BMKG disosialisasikan ke kelompok-kelompok pembudidaya udang di lapangan.
Begitu pentingnya petambak memahami fenomena cuaca ekstrem karena dapat berdampak langsung terhadap budidaya. Pembudidaya juga harus memahami  perubahan iklim dan cuaca yang menjadikan suhu tidak stabil. Fluktuasi suhu salah satu indikator yang perlu diwaspadai oleh para petambak, karena fluktuasi  suhu yang terjadi setiap hari dengan tiba-tiba dapat membuat udang kaget dan stres.
 Perbedaan suhu dasar dan muka air tambak juga menjadi penyebab terjadinya stratifikasi oksigen terlarut (DO). Perubahan suhu secara singkat melampaui ambang batas optimal dan terjadinya pelapisan oksigen dapat menghambat pertumbuhan udang atau malah dapat mematikan bagi udang. Itulah sebabnya petambak kadang menemukan udangnya mati satu-satu pada pagi hari di sisi bawah pematang tambak.
Berfluktuasinya suhu perairan dapat berakibat pada air media budidaya udang yang dapat mempengaruhi terhadap populasi plankton di dalam tambak.Â
Meningkatnya suhu ekstrim juga berpengaruh terhadap perkembangbiakan berbagai jenis plankton terutama plankton yang merugikan seperti bule green algae dan dapat mempengaruhi pertumbuhan udang bahkan dapat memicu timbulnya penyakit udang seperti White Spot Syndrome Virus (WSSV), Taura Syndrome Virus (TSV), dan Infectious Myonecrosis Virus (IMNV).Â
Fenomena perubahan cuaca kini mulai berdampak pada  beberapa petak tambak udang windu tradisional di kecamatan Lanrisang, Pinrang. Satu per satu  ekor udang windu umur 35 hari hingga umur jelang panen mulai ditemukan mati pada pagi hari.Â
Meskipun belum ada hasil riset dari laboratorium, namun secara visual terhadap kondisi air tambak dan gejala klinis udang mati mirip dengan White Spot Syndrome Virus (WSSF) yakni kondisi udang sebelum mati terlihat lemah di pinggir tambak, tidak responsif, tubuh kemerahan, hepatopankreas pucat, isi perut kosong, berenang miring hingga berputar dan loncat, ada bintik putih pada kulit kepala (Cephalotorax).