“Pak Slamet, Pak Slamet. Dulu perasaan saya hampir sama dengan apa yang Bapak rasakan. Tapi setelah mendapatkan penjelasan dari Pak Kyai, saya jadi sadar dan termotivasi untuk terus belajar ngaji. Kuncinya ada di diri kita sendiri. Jadi tak perlu minder Pak.”
“Gimana ya Pak ... rasanya kok masih susah menghilangkan perasaan tersebut ya?”
“Memang salah satu kendala terbesar dalam belajar adalah rasa minder, selain malas dan malu. Mungkin karena ini Al-Qur’an berbahasa Arab yang nota bene bahasa asing. Tapi begini Pak Slamet. Masih ingat nggak Pak apa yang pernah disampaikan Pak Kyai dalam pengajiannya setahun yang lalu?”
“Soal apa itu Pak?”
“Ada hadis yang menyebutkan, orang yang lancar membaca Al-Qur’an akan bersama para malaikat yang mulia dan baik. Tapi yang membacanya masih terbata-bata dia akan mendapat dua pahala. Kata Pak Kyai, dua pahala itu adalah pahala membaca dan pahala belajar. Enak, kan? Karunia Allah sangat luas. Semua kebaikan dilipatgandakan ganjarannya, termasuk dalam belajar mengaji,” jelas Pak Dul.
“Betul juga ya Pak Dul. Kalau begitu, ajari saya ngaji dong. Menyesal kenapa waktu muda gak belajar ngaji. Cuma kuliah, lalu kerja, dan sekarang terlalu sibuk urusan kantor. Gak pernah menyempatkan ngaji.” Raut wajahnya jelas sekali menampakkan penyesalan yang mendalam.
“Sudahlah Pak Slamet. Lupakan yang sudah berlalu. Yang penting sekarang ada niat. Ada kemauan. Bukan saya tidak mau mengajari Bapak ngaji, tapi ada yang lebih pantas menjadi pembimbing. Pak Kyai. Kalau Pak Slamet mau, nanti malam bakda Isya saya ajak sowan ke Pak Kyai.”
“Mau, mau Pak.” Wajah Pak Slamet seketika berubah menjadi sumringah. “Kalau begitu, saya pamit dulu Pak. Siap-siap shalat jamaah Maghrib di masjid.”
“O ya. Tak terasa ya sudah mau Maghrib. Saya juga mau siap-siap kalau begitu.”
“Assalamu alaikum.” Salamnya tak kalah sumringah dibanding salam waktu datang.
“Wa alaikumussalam wa rahmatullah.”