Secara bahasa hijrah dapat dipahami dalam dua arti, yakni secara makani dan maknawi.  Hijrah makani merupakan proses transmigrasi, imigrasi  atau perpindahan secara fisik. Sedangkan hijrah maknawi dapat dipahami dalam konteks non fisik.
Pada masa Rasulullah SAW ada tiga peristiwa hijrah, yaitu hijrah ke Habsyah (Ethiopia), Thaif, dan Yatsrib (Madinah). Ini hijrah makani, memutuskan kekerabatan, meninggalkan harta benda dan kepemilikan lainnya.
Hijrah dalam konteks masa kini adalah meninggalkan maksiat menuju ketaatan, mengubah diri menjadi lebih baik dari sebelumnya dengan niat karena Allah. Sebab, tidak ada gangguan untuk beribadah kepada Allah SWT, berarti tidak perlu hijrah dalam konteks makani. Untuk saat ini hijrah diprioritaskan secara maknawi, dilakukan secara konprehensif yaitu terdiri dari fisik, hati, dan perbuatan. Â Â
Terkait dengan niat hijrah, jangan sampai ternodai. Hijrah dilakukan hanya karena Allah, bukan untuk tenar, pamer, dan terkenal. Bukan berarti setelah hijrah langsung pamer, update status ke facebook, mendadak jadi ustadz, atau menyalahkan orang lain.
Jelaslah, hijrah itu identik dengan melakukan perubahan ke arah yang lebih baik. Dalam buku Hidup Bahagia, Mati Masuk Surga, karya Hani Saad Ghunaim, menulis kisah singkat Dhamrah bin Jundub RA, seorang lelaki tua berumur sekitar 80 tahun, ia berkata kepada keluarganya, "Keluarkanlah aku dari bumi orang-orang musyrik, dan bawalah aku ke bumi Rasulullah." Lalu, ia meninggal di tengah perjalanan sebelum berjumpa dengan Rasulullah SAW.
Kemudian Allah berfirman dalam Alqur'an, "Barang siapa keluar dari rumahnya dengan maksud berhijrah kepada Allah dan Rasul-Nya, kemudian kematian menimpanya (sebelum sampai ke tempat yang dituju), maka sungguh telah tetap pahalanya di sisi Allah." (QS an-Nisa'[4]: 100).
Ayat ini merupakan berita gembira bagi orang yang berhijrah karena Allah. Kemudian, ditetapkan pahalanya secara sempurna, meskipun hijrahnya belum sempurna karena ajal menjemput.
Perlu diketahui bahwa hijrah merupakan konsekuensi keimanan seseorang. Akhirnya, introspeksi diri akan kesalahan atau dosa yang telah berlalu. Kemudian dikaitkan dengan sisa usia (waktu) yang tidak bisa diprediksi. Maka alternatifnya adalah hijrah, keluar dari keterpurukan dosa dan maksiat menuju ketaatan.
Allah SWT berfirman, "Sesungguhnya orang-orang yang beriman, orang-orang yang berhijrah dan berjihad di jalan Allah, mereka itu mengharapkan rahmat Allah, dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang." (QS al-Baqarah [2]: 218). Â
Menurut Hamim Ilyas, ayat ini mengandung trilogi keberislaman yaitu iman, hijrah dan jihad (www.ibtimes.id). Abdul Ghafar Hadi Juga mengatakan bahwa iman, hijrah dan jihad merupakan segi tiga emas dan juga sebagai kata kunci untuk membuka kejayaan Islam yang pernah diraih generasi Rasulullah di awal Islam (www.hidayatullah.or.id).
Iman, hijrah, dan jihad merupakan tiga serangkai yang tidak bisa dipisahkan. Iman sebagai pondasi dan syarat diterimanya amal. Hijrah berarti pindah dari keterpurukan maksiat menuju rida Allah SWT. Kemudian, jihad merupakan kesungguhan perjuangan secara totalitas serta puncak dari segala amal kebaikan.
Selamat Tahun Baru 1444 H, "Tetap Optimis dan Jangan Pesimis". Â Â Â Â
 Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H