Mohon tunggu...
Abdul Mukhlis
Abdul Mukhlis Mohon Tunggu... -

Makhluk berotak tiga yang sedang menyelesaikan studi di Univ. Muhammadiyah Surakarta. Berasal dari pesisir pantai utara (PANTURA), Jateng. Tepatnya Kabupaten Batang. Belajar dari pengalaman adalah kesehariannya selain belajar dari buku. Selamat berbagi.!!

Selanjutnya

Tutup

Catatan

Refleksi Hati: Dua Rasa dalam Satu Jiwa

23 Agustus 2014   03:40 Diperbarui: 18 Juni 2015   02:48 51
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Malam ini aku ingin menulis. Menulis tentang rasa: gelisah dan senang. Dua rasa itu dekat dengan diriku. Aku tak ingin rasa yang dekat denganku menghilang seperti angin lalu. Paling tidak, aku punya goresan bukti bahwa rasa itu pernah dekat denganku. Ya, setiap perjalananku tak pernah jauh dari yang namanya “rasa”. Aku tak bisa menolak, menghindar, atau bahkan hanya berkata tidak. Seperti yang saat ini aku temui, aku mendapati rasa itu.

Gelisah

Pertama kali, aku harus memulainya dari rasa gelisah lebih dulu. Aku tak ingin gelisah ini makin berkecamuk dalam hati dan anganku telalu lama. Aku tak mau pula gelisah ini mengendap dan membatu bagai kristal. Begini, aku menyimpan rasa gelisah ini baru-baru saja. Tepatnya saat pelaksanaan PPL yang baru saja berjalan lebih kurang 2 minggu, dan akan berakhir sekitar 7 minggu ke depan. Apa pasal hingga sebegitu aku gelisahnya? Aku teringat konsep pendidikan yang diuraikan Pauolo Ferreire yang berbunyi: “pendidikan adalah memanusiakan manusia”. Namun yang terjadi saat ini adalah kebalikan dari konsep Ferreire itu. Artinya, pendidikan tidak lagi memanusiakan manusia. Mengapa aku berkesimpulan seperti ini? Aku punya alasan yang bagiku sangat menggelisahkan.

Sebut saja si X, dia adalah teman PPLku dari jurusan Y. Entah apa yang ada di dalam pikirannya. Setiap hari ada saja tingkah laku yang menjemukan mataku. Aku sering melihat sebilah kayu mendarat di meja siswa dengan diselingi kata “diam” bernada tinggi. Kuakui, aku tak lebih rajin dari dia. Kuakui pula aku tak lebih pandai dari dia. Namun setidaknya aku tahu bagaimana cara memperlakukan siswa secara manusiawi. Aku tak suka menggunakan kekerasan, kekasaran, atau semacamnya dalam mendidik siswa. Aku selalu berpedoman bahwa setiap siswa adalah manusia yang harus ditangani dengan cara manusiawi. Bukan dengan perlakuan keras, perkataan kotor, atau cara-cara kasar. Aku gelisah. Mungkinkah generasi mendatang banyak guru yang bermodel seperti ini. Pura-pura manis padahal bengis. Dan perlu kita catat, senjata seorang guru adalah kesabaran bukan?

Senang

Setiap rasa tak akan hadir sendirian. Begitulah pelajaran yang aku temui dari setiap merasakan sesuatu. Kala sedih datang, senang akan mengikutinya. Ketika kecewa pergi, percaya akan hadir lagi. Dan masih banyak rasa lain yang akan selalu berdampingan, saling mengisi, atau mungkin hanya sekedar mengikuti. Begitu pula yang aku rasakan saat ini. Walaupun aku diselimuti kabut gelisah tebal, rasa senang sedikit menghapus kabut tebal itu. Ya, aku senang dengan adanya PPL ini. Aku mendapat teman baru berkarakter unik, lucu, bahkan menjemukan seperti teman yang aku bahas di atas. Aku jadi merasa kecil. Merasa tak ada apa-apanya dibanding teman-teman baruku itu.

Ada si A yang suka filsafat, sastra, alam, dan lainnya. Saking banyaknya dia menyukai ilmu, sampai-sampai dia lupa bahwa ilmu terpenting adalah ilmu syar’i (agama). Parahnya, dia benar-benar anti dengan ilmu terakhir yang aku sebut tadi. Walhasil, menurutku si A sudah jauh keblinger nguwer-nguwer. Ada pula si B, dia super pendiam. Namun di balik sifat pendiamnya, dia adalah pribadi humoris. Jarang sekali ada orang yang sukses berkomunikasi dengannya. Jika tidak ingin sakit hati, lebih baik tersenyum saja kepada temanku si B itu. Bagaimana, unik dan lucu bukan?

Tuhan, betapa murahnya kau memberi khazanah kepadaku. Membuka penglihatan batinku dengan indahnya caramu. Sekali lagi, aku bukanlah pribadi besar di kapal pesiar. Aku adalah pribadi kecil yang terombang ambing oleh angin, berpindah tempat, dan harus sadar bahwa di atas kemampuanku, masih ada yang bisa melampauinya. Jurus yang harus aku terapkan untuk melampaui seseorang yang ada di atasku adalah lebih keras belajar dan berlapang dada. Dengan begitu, aku akan selalu merasa senang.

19/08/14

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun